JAKARTA, investor.id -Target penerimaan perpajakan tahun depan sebesar Rp 1.861,8 triliun masih rasional. Target yang naik 13,3% dari proyeksi penerimaan pajak 2019 itu sudah memperhitungkan daya beli masyarakat dan ketahanan dunia usaha, serta mengacu pada asumsi-asumsi makro yang feasible.
“Kalau ada yang bilang target penerimaan perpajakan tahun depan terlalu ambisius, nggak bisa juga dikatakan begitu. Targetnya masih rasional, masih bisa dikejar, masih akomodatif,” ujar Dirjen Pajak Robert Pakpahan saat berkunjung ke Beritasatu Media Holdings di Beritasatu Plaza Jakarta, Senin (19/8).
Dalam Rancangan APBN (RAPBN) 2020, pemerintah menetapkan target penerimaan negara sebesar Rp 2.221,5 triliun. Dengan demikian, target penerimaan perpajakan Rp 1.861,8 triliun tahun ini berkontribusi 83,8% terhadap penerimaan negara.
Adapun tahun ini, target penerimaan perpajakan dipatok Rp 1.643,1 triliun atau 80,9% dari target penerimaan negara yang mencapai Rp 2.030,8 triliun. Pada 2019 dan 2020, pemerintah menargetkan rasio penerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB) masing-masing sebesar 11,1% dan 11,5%.
Dalam lima tahun terakhir, realisasi penerimaan perpajakan tak pernah mencapai target. Pencapaian tertinggi terjadi pada 2018 (92,4%) dan terendah pada 2016 (81,6%). Pada 2018, realisasi penerimaan pajak meningkat 14,3% dari tahun sebelumnya menjadi Rp 1.315,9 triliun. (Lihat tabel)

Elastisitas 10-15%
Menurut Dirjen Pajak Robert Pakpahan, berdasarkan kalkulasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), target penerimaan perpajakan sebesar 13,3% pada 2020 sudah memperhitungkan berbagai variabel.
Target itu juga sudah mempertimbangkan asumsi-asumsi makro tahun depan, seperti pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%, inflasi 3,1%, dan nilai tukar Rp 14.400 per dolar AS.
“Dalam hitungan kami, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) nominal tahun depan diperkirakan mencapai 8-9%, sehingga elastisitas target penerimaan perpajakan yang logis adalah 10% sampai 15%,” tutur dia.
Robert mengakui, kondisi perekonomian nasional tahun depan kemungkinan belum kondusif, terutama akibat perlambatan ekonomi global yang dipicu perang dagang antara AS dan Tiongkok. Dalam kondisi ekonomi yang belum kondusif, tidak mudah mengejar target pertumbuhan perpajakan sebesar 13,3%.
Meski demikian, kata Robert Pakpahan, DJP akan berupaya mengejar target tersebut melalui berbagai instrumen dan kebijakan, termasuk melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi.
Robert menambahkan, tahun ini pun DJP tak akan mudah mengejar target penerimaan perpajakan yang meningkat 8,18% dari tahun sebelumnya menjadi Rp 1.643,1 triliun dengan kontribusi 80,9% terhadap penerimaan negara.
“Tapi akan kami kejar target itu. Kalau targetnya mudah kan tidak menantang. Ini untuk memacu adrenalin,” ucap Robert, setengah berkelakar.

Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjawab Investor Daily secara terpisah di Jakarta, Senin (19/8), mengemukakan, target kenaikan penerimaan perpajakan sudah memperhitungkan berbagai hal, termasuk kemampuan DJP serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
“Kalau dari sisi target ada basisnya, seperti pertumbuhan ekonomi dan asumsi-asumsi makro lainnya, serta insentif pajak yang dapat mengurangi potensi penerimaan pajak dalam jangka pendek,” ucap Menkeu.
Tax Amnesty II
Dirjen Pajak Robert Pakpahan juga mengungkapkan, pemerintah tidak akan menggulirkan program amnesti pajak (tax amnesty) jilid II. “Dengan berbagai pertimbangan, tidak ada itu tax amnesty jilid II,” tegas Robert Pakpahan.
Dua tahun lalu, pemerintah menggulirkan program amnesti pajak. Program tersebut dimulai pada 1 Juli 2016 dan berakhir pada 31 Maret 2017. Selama sembilan bulan, total tebusan mencapai Rp 114,54 triliun, dengan total harta yang dideklarasikan sekitar Rp 4.884,25 triliun.
Data DJP menyebutkan, total dana tebusan yang mencapai Rp 114,54 triliun terdiri atas tebusan badan non-usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) senilai Rp 14,68 triliun, tebusan badan UMKM Rp 690 miliar, tebusan objek pajak (OP) non-UMKM Rp 91,36 triliun, dan tebusan OP UMKM Rp 7,81 triliun.
Adapun total harta yang dideklarasikan sebesar Rp 4.884,25 triliun meliputi deklarasi harta bersih dalam negeri Rp 3.700,79 triliun, deklarasi harta bersih luar negeri Rp 1.036,76 triliun, serta deklarasi harta bersih repatriasi sebesar Rp 146,70 triliun.
Robert Pakpahan mengemukakan, meski tidak akan menggulirkan kembali program amnesti pajak, pemerintah akan memperluas dan memperbanyak insentif pajak untuk mendorong perekonomian.
Insentif yang akan diperluas, menurut Robert, di antaranya fasilitas pembebasan pajak untuk jangka waktu tertentu (tax holiday), keringanan pajak (tax allowance), dan diskon pajak di atas 100% untuk program khusus (super deduction tax).
Dirjen Pajak mencontohkan, pemerintah belum lama ini meluncurkan fasilitas super deduction tax bagi perusahaan yang melaksanakan program vokasi dan riset, dengan besaran potongan pajak masing-masing 200% dan 300%. “Dulu juga kan ada program fasilitas pajak, namanya sunset policy,” kata dia.

Dalam beberapa tahun terakhir, kata Robert, pemerintah juga gencar memberikan tax holiday dan tax allowance kepada perusahaan-perusahaan manufaktur padat karya, bernilai tambah tinggi, dan yang berinvestasi di daerah terpencil (remote area). Kebijakan itu diterbitkan agar sistem perpajakan di Indonesia lebih atraktif bagi dunia usaha.
“Hasilnya sudah kelihatan. Ada sekitar 36 perusahaan yang apply untuk berinvestasi dengan memanfaatkan fasilitas pajak tersebut. Tidak langsung, memang, sebagian mungkin baru direalisasikan beberapa tahun ke depan,” papar dia.
Robert Pakpahan mengatakan, dalam jangka pendek, bisa saja insentif pajak menyebabkan realisasi penerimaan pajak menurun.
Namun, dalam jangka panjang, insentif pajak akan memperluas basis pajak dan memberikan stimulan bagi sektor-sektor terkait, sehingga realisasi penerimaan pajak akhirnya meningkat. “Kalau size-nya makin besar, realisasi penerimaan juga membesar,” tandas dia.
Dia menegaskan, perkonomian Indonesia membutuhkan stimulan, salah satunya lewat insentif pajak. “Persaingan antarnegara kan makin tinggi. Kalau negara-negara lain memberikan tax holiday tapi kita tidak, ya kalah kita. Kalau kita diam saja, kita nggak akan kebagian investasi,” tutur dia.
Menurut Robert Pakpahan, aliran investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) sangat diperlukan perekonomian nasional, terutama untuk memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD), membuka lapangan kerja, meningkatkan penerimaan negara, dan mendorong pertumbuhan PDB. Melalui insentif pajak yang lebih atraktif, FDI diharapkan kian deras masuk ke Indonesia.
Dirjen Pajak menjelaskan, jumlah wajib pajak (WP) yang sudah memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Jumlahnya sudah sekitar 43 juta.
“Lumayanlah. Jangan lihat populasi yang 263 juta, sebab satu rumah tangga cukup punya satu NPWP. Masih ada ruang sih karena yang miskin ini kan sekitar 10 juta. Kalau dari rumah tangga masih bisa 55 juta,” papar dia.

Reformasi Perpajakan
Dirjen Pajak mengakui, program amnesti pajak dua tahun silam merupakan bagian dari reformasi sistem perpajakan yang digulirkan pemerintah. Reformasi perpajakan meliputi perbaikan aturan dan perundang-undangan, perbaikan organisasi dan proses bisnis, perbaikan SDM, serta perbaikan sistem informasi dan basis data. Reformasi perpajakan adalah salah satu upaya pemerintah membangun institusi pajak yang kuat, akuntabel, kredibel, dan berintegritas tinggi.
Dalam skenario awal pemerintah, program amnesti pajak akan diikuti revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Revisi UU KUP akan disatupaketkan dengan revisi UU No 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan UU No 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Menurut Robert Pakpahan, sejak tiga tahun lalu, revisi UU KUP masih mengendap di parlemen. “Pembahasannya terhenti, kalah nggak salah sejak tahun 2016,” tutur dia.
Berdasarkan draf revisi UU KUP, struktur kelembagaan otoritas pajak akan berubah setelah UU KUP direvisi. Otoritas pajak yang selama ini berbentuk Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di bawah Kemenkeu, kelak menjadi lembaga baru yang langsung di bawah presiden. Kewenangannya pun lebih besar, di antaranya bisa mengakses seluruh data yang terkait dengan perpajakan, termasuk data perbankan yang saat ini bersifat rahasia sebagaimana diatur dalam UU Perbankan. (ks/try/rw/az)
Editor : Gora Kunjana (gora_kunjana@investor.co.id)
Sumber : Investor Daily
Berita Terkait