JAKARTA, investor.id - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) memperkirakan Bank Indonesia (BI) masih akan mempertahankan suku bunga acuan di angka 3,5% pada Oktober 2021 ini. Suku bunga tetap dipertahankan dengan melihat risiko di sisa tahun 2021 dan kondisi inflasi yang terkendali.
“Kami melihat BI harus terus mempertahankan suku bunga kebijakannya di 3,50% untuk menjaga stabilitas Rupiah dan tidak mengganggu potensi berlanjutnya momentum pemulihan ekonomi,” ucap Ekonom LPEM-FEB UI Teuku Riefky dalam Laporan Seri Analisis Makroekonomi Oktober 2021 yang diterima pada Senin (18/10).
Dia mengatakan tanda pemulihan ekonomi domestik mulai terlihat. Percepatan dan perluasan program vaksinasi bersamaan dengan respons kebijakan yang akomodatif melalui stimulus fiskal dan moneter sangat penting untuk mendapatkan kembali momentum pertumbuhan ekonomi setelah melewati gelombang kedua pandemi akibat varian delta. Menurutnya perekonomian berangsur- angsur kembali berjalan setelah pemerintah mulai secara perlahan melonggarkan pembatasan kegiatan masyarakat darurat (PPKM).

Penerbitan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagai bagian dari reformasi struktural berpotensi meningkatkan penerimaan pajak dan memperluas basis pajak seiring dengan pemulihan ekonomi, terutama dalam jangka panjang.
“Kegiatan ekonomi berangsur-angsur pulih setelah pemerintah mulai secara perlahan melonggarkan PPKM. Dari sisi kemajuan vaksinasi, tingkat vaksinasi di Indonesia meningkat tajam, berkat pemerintah yang mengamankan pasokan vaksin untuk seluruh penduduk,” ucap Teuku.
Namun angka inflasi masih rendah, hal ini menunjukkan permintaan agregat masih rendah. inflasi tahunan September tercatat sebesar 1,60% (year on year/YOY), relatif tidak berubah dari sebelumnya sebesar 1,59% (YOY) pada bulan Agustus dan masih di bawah kisaran target BI. Secara bulanan, inflasi umum mencatat deflasi sebesar -0,04% (Month To Month/MTM), turun dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 0,03% (MTM), namun hampir setara dengan deflasi bulanan sebesar -0,05% (MTM) yang tercatat pada periode yang sama tahun lalu.
“Penurunan inflasi bulanan tersebut disebabkan oleh deflasi yang terjadi dikelompok harga makanan bergejolak dan penurunan inflasi inti di tengah meningkatnya inflasi kelompok harga yang diatur pemerintah,” tandas Teuku.
Teuku mengatakan di tengah kondisi domestik yang mulai pulih, situasi eksternal agak bergejolak akibat krisis energi yang terjadi di Tiongkok, India, dan beberapa bagian Eropa karena pemulihan yang lambat dari sisi penawaran dibandingkan dengan sisi permintaan. Akibatnya, terjadi arus keluar yang agresif dari sekitar US$ 9,05 miliar di pertengahan September menjadi US$ 6,98 miliar di pertengahan Oktober. Krisis energi global memicu ketakutan di kalangan investor, sehingga mereka melepas modalnya dari pasar negara berkembang termasuk Indonesia.
Selain itu, berbagai masalah lain seperti masalah utang Evergrande di Tiongkok yang dapat menimbulkan risiko sistemik terhadap perekonomian Tiongkok serta masalah yang terkait dengan stance moneter the Fed, yang dapat melakukan kebijakan tapering lebih cepat dari yang diantisipasi sebelumnya, semakin memperburuk ketakutan dan mendorong investor untuk melarikan diri dari aset yang lebih berisiko.
“Sehingga terjadi peningkatan imbal hasil obligasi pemerintah 10-tahun dan 1-tahun masing-masing menjadi 6,27% dan 3,91% pada pertengahan Oktober dari 6,17% dan 3,16% pada pertengahan September,” ucapnya.
Dari isi eksternal, risiko pada sisa tahun 2021 yang dapat memberikan tekanan dan menimbulkan ketidakpastian pada stabilitas ekonomi. Faktor-faktor tertentu yang dapat meningkatkan ketidakpastian eksternal dan membatasi potensi arus modal masuk ke depan adalah agenda normalisasi moneter yang lebih cepat dari yang diantisipasi oleh The Fed yang dapat memicu “flight to quality”, kelangkaan kontainer dan hambatan dalam pengiriman barang di Tiongkok yang meningkatkan biaya pengiriman dan logistik dan mengganggu rantai pasok global, dan krisis energi global akibat pemulihan yang lambat dari sisi suplai.
“Jika pasar bergejolak setelah the Fed mulai melakukan pengetatan, Indonesia berada dalam posisi yang agak sulit,” kata Teuku.
Editor : Gora Kunjana (gora_kunjana@investor.co.id)
Sumber : Investor Daily
Berita Terkait