PMI Turun, Celios Minta Pelaku Usaha Antisipasi Ketidakpastian

JAKARTA, investor.id - Kinerja manufaltur Indonesia Februari masih di level ekspansif tetapi sedikit mengalami penurunan tipis menjadi 51,2 dari semula pada Januari tercatat 53,7. Penurunan ini disebabkan oleh penyebaran Covid -19 varian Omicorn yang mempengaruhi kepercayaan bisnis.
Ekonom Celios, Bhima Yudisthira mengatakan bahwa telah terjadi kenaikan biaya produski, hal ini tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa harga tingkat produsen alami inflasi 2,74% pada kuartal IV2021.
Tetapi kinerja manufaktur diyakininya akan tetap masuk zona ekspansi hingga Semester I dengan proyeksi dikisaran 50 hingga 52.
“Dengan kondisi saat ini dengan kenaikan biaya logistik karena harga minyak mentah naik, kemudian ada tekanan dari negara negara asal importir bahan baku sebab krisisi di Ukraina dapat meningkatkan biaya lebih tinggi di sektor manufaktur di makanan minuman yang paling terasa,”tuturnya saat dihubungi.
Ia mengkhawatirkan kenaikan biaya produksi dapat semakin menggerus margin industri manufaktur, yang akan berdampak pada sisi konsumen mulai dari harga jual padahal konsumen belum tentu siap untuk menerima kenaikan biaya ritel barang secara bersamaan.
Di samping itu ada faktor kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang akan mulai brlaku pada April mendatang, dinilainya akan berpengaruh pada sisi keyakinan kosnumen untuk membeli barang, alhasil menyebabkan margin sisi pelaku usaha akan semakin menipis.
“Jadi ini bisa berpengaruh pada confidence, dari konsumen untuk membeli barang. Margin akan semakin tipis tantangan harus dicari stargei apakah menurunkan kualitas atau kuantitas barang misalnya pengemaan barang yang menjadi lebih kecil itu jadi tantangan,”tegasnya.
Selanjutnya ada tantangan industri manufaktur dari sisi bunga pinjaman atau cost of fund yang diproyeksi akan semakin mahal di tahun ini. Hal ini dipengaruhi oleh tren kenaikan suku bunga acuan yang terjadi di berbagai negara,sehingag membuat pinjaman luar negeri maupun pinjaman dalam negeri mengalami penyesuaian tingkat suku bunga.
“Akhirnya akan menjadi tekanan biaya produksi di industri manufaktur,”ujarnya.
Adapun tantangan dari sisi daya saing, karena beberapa produsen di negara lain akan terus melakukan efisiensi produksi dengan beralih pada industri 4.0. Apabila industri manufaktur lambat beralih ke teknologi maka diyakini akan kalah saing dengan negara lain karena sisi harga jualnya lebih rendah.
Tak hanya itu, saat ini industri manufaktur orientasi ekspor juga tengah mengalami kenaikan tercermin dari kinerja neraca perdagangan, meskipun ada gangguan stabilitas geopolitik.
Oleh karena itu, ia meminta agar pelaku usaha untuk mengoptimalkan sisi standarisasi produk yang akan diekspor yang mencakup lingkungan, kemudian ada standarisasi kualitas dan berbagai hambatan non tarif perlu dicermati.
“Sebab berbagai negara sedang menggaungkan kebijakan proteksionime batasi masuknya produk impor pasca pandemi,sehingga ini perlu diantisipasi oleh pengusaha,”tuturnya.
Editor: Gora Kunjana (gora_kunjana@investor.co.id)
Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS
Berita Terkait
Berita Terkini
BEI Hentikan Sistem Perdagangan FITS, Mengapa?
PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan penghentian layanan sistem perdagangan Fixed Income Trading System (FITS). Mengapa?ASEAN Sumbang 3% dari PDB Riil Dunia
Kapasitas ASEAN harus diperkuat untuk menjawab tantangan hari ini, dan tantangan 20 tahun ke depan.Kabar Gembira, UI Umumkan 410 Camaba Lewat Jalur Talent Scouting
Sebelumnya, sebanyak 2.049 orang calon mahasiswa baru lolos penerimaan masuk melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP)Lion Air Pangkas Kuota Gratis Bagasi Tercatat di Rute 8 Bandara
Lion Air mengumumkan kebijakan terbaru mengenai bagasi gratis alias cuma-cuma kategori bagasi tercatat.Ekonomi ASEAN-5 Kolektif Diproyeksi Tumbuh 4,6% di 2023
Pertumbuhan antara lain didukung konsumsi, perdagangan, dan investasi yang kuat, serta perdagangan terbuka dan investasi ke negara lain.Tag Terpopuler
Terpopuler
