Milestone Perdagangan Karbon

Indonesia bakal segera menancapkan tonggak sejarah (milestone) baru dalam pengendalian emisi gas rumah kaca (GRK). Jika tidak ada aral melintang, 99 unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) akan terlibat dalam perdagangan karbon tahun ini. Perdagangan karbon oleh kalangan PLTU akan menjadi perdagangan karbon pertama yang diinisiasi pemerintah (nonsukarela).
Untuk mendukung program ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik. Pada tahap pertama, perdagangan karbon diperuntukkan bagi pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang terkoneksi dengan PT PLN (Persero). Permen ESDM 16/2022 merupakan turunan Peraturan Presiden (Perpres) No 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi GRK dalam Pembangunan Nasional.
Perdagangan karbon adalah salah satu program yang digalakkan pemerintah untuk mengurangi emisi karbon sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri atau 43,20% dengan dukungan internasional pada 2030. Langkah ini menjadi komitmen Indonesia dalam mencegah kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius.
Tentu saja keterlibatan 99 unit PLTU dalam perdagangan karbon bakal menjadi sejarah baru, bukan saja bagi program pengendalian emisi GRK, tapi bagi perekonomian nasional secara keseluruhan. Mengapa? Karena pertama, ke-99 unit PLTU tersebut berkapasitas sangat besar, mencapai 33.569 megawatt (MW). Alasan kedua, program tersebut bakal mampu menurunkan emisi GRK hingga 500 ribu ton dalam setahun.
Alasan ketiga, yang tak kalah penting, adalah dampak pengganda (multiplier effect) yang ditimbulkannya. Jika program ini berjalan sesuai skenario, Indonesia bisa menjadi salah satu kiblat perdagangan karbon dunia. Dengan demikian, Indonesia bisa mengapitalisasi sumber daya alam (SDA) menjadi aset dan rantai ekonomi baru bernilai tambah tinggi yang mampu menyejahterakan rakyat.
Dalam urusan perdagangan karbon, Indonesia punya segala-galanya. Bukankah Indonesia punya hutan begitu luas yang bisa dijadikan sarana untuk mengurangi emisi GRK, terutama melalui program reboisasi, reforestasi, restorasi, dan konservasi? Indonesia memiliki 125,9 juta ha hutan hujan tropis, 3,31 juta ha hutan mangrove, dan 7,5 juta ha lahan gambut yang masing-masing mampu menyerap 25,18 miliar ton karbon, 33 miliar ton karbon, dan 55 miliar ton karbon dengan nilai pendapatan dari perdagangan karbon mencapai Rp 8.000 triliun (asumsi harga karbon US$ 5 per ton) atau separuh dari nilai produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Jangan lupa, Indonesia juga punya lautan seluas 93.000 km2 dan garis pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan garis pantai terpanjang di dunia. Dengan garis pantai sepanjang itu, Indonesia memiliki 25% garis pantai di seantero bumi. Seperti hutan, laut juga bisa menjadi sarana pengurangan GRK, misalnya melalui penanaman mangrove dan lamun, pemulihan terumbu karang, pencegahan abrasi, serta penangkapan ikan dan eksplorasi migas secara berkelanjutan.
Data Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) menyebutkan, Indonesia mengalami penurunan luas lahan tutupan pohon atau deforestasi bruto seluas 119.091 ha pada 2019-2020, terendah dalam 20 tahun terakhir. Deforestasi tersebut diiringi penghutanan kembali (reforestasi) seluas 3.631 ha. Alhasil, total deforestasi di Indonesia pada periode itu mencapai 115.459 ha. Deforestasi terbesar terjadi di Kalimantan (41,5 ribu ha), disusul Bali dan Nusa Tenggara 21,3 ribu ha, Sumatera 17,9 ribu ha, Sulawesi 15,3 ribu ha, Kepulauan Maluku 19,9 ribu ha, dan Papua 8,5 ribu ha.
Kerusakan hutan dan laut, di satu sisi, memang mencemaskan. Namun, di sisi lain, kita bisa mengapitalisasinya lewat program pemulihan lingkungan. Perusahaan-perusahaan pengguna bahan bakar fosil, termasuk PLTU, yang melebihi kuota GRK bisa membeli karbon dari perusahaan yang tak mencapai kuota. Mereka juga bisa menggarap karbon berbasis proyek, seperti reboisasi, reforestasi, restorasi, dan konservasi.
Perdagangan karbon harus menciptakan rantai ekonomi baru dan mendatangkan nilai tambah bagi perekonomian nasional, bukan malah sebaliknya.
Kita berharap Permen ESDM 16/2022 menjadi pemicu (trigger) bagi perdagangan karbon di Tanah Air. Dengan demikian, kebijakan ini bukan hanya akan mendorong perdagangan karbon antarperusahaan pengguna fosil, tapi juga melahirkan banyak perusahaan yang bergerak di bidang proyek GRK. Alhasil, program ini bukan hanya akan ‘membersihkan’ Indonesia dari emisi GRK, tapi juga membuka lapangan kerja, menarik investasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Lebih dari itu, program ini pun bakal meningkatkan penerimaan negara, apalagi pemerintah sudah menyiapkan tarif pajak karbon.
Permen ESDM 16/2022 mengatur penetapan persetujuan teknis batas atas emisi (PTBAE), penyusunan rencana monitoring emisi GRK pembangkit tenaga listrik, dan penetapan persetujuan teknis batas atas emisi pelaku usaha (PTBAE-PU). Beleid ini juga mengatur perdagangan karbon, penyusunan laporan emisi GRK pembangkit tenaga listrik, serta evaluasi pelaksanaan perdagangan karbon dan pelelangan PTBAE-PU.
Pelaksanaan PTBAE pembangkit tenaga listrik akan dilaksanakan pada 3 fase, yaitu fase pertama (2023-2024), fase kedua (2025-2027), dan fase ketiga (2027-2030). Sedangkan untuk fase setelah 2030 akan dilaksanakan sesuai target pengendalian emisi GRK sektor energi. PTBAE-PU ditetapkan paling lambat 31 Januari ini.
Kita sepakat bahwa perdagangan karbon di kalangan PLTU akan turut menentukan transformasi ekonomi Indonesia menuju ekonomi hijau sebagaimana dicanangkan pemerintah. Karena itu, kita meminta pemerintah benar-benar mengimplementasikan kebijakan ini secara baik. Perdagangan karbon harus menciptakan rantai ekonomi baru dan mendatangkan nilai tambah bagi perekonomian nasional, bukan malah sebaliknya.
Indonesia memang harus beralih dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT). Tetapi kita tetap menyadari bahwa transformasi energi harus dijalankan secara halus (smooth). Transisi tidak boleh menimbulkan guncangan pada perekonomian. Apalagi perekonomian baru saja pulih. Inilah yang harus dijaga pemerintah. ***
Editor: Totok Subagyo (totok_hs@investor.co.id)
Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS
Berita Terkait
Berita Terkini
Ini Keuntungan Memakai Mobil Hybrid saat Mudik Lebaran
Menjelang Lebaran 2023, berikut keuntungan menggunakan mobil hybrid selama mudik.Kadin, ALFI, dan LIP Kolaborasi Program Vokasi & Kompetensi SDM Logistik
Kadin Indonesia merangkul ALFI dan LSP LIP untuk melaksanakan program pendidikan dan pelatihan.Blibli (BELI) Rugi Rp 5,5 Triliun
PT Global Digital Niaga Tbk (BELI) atau Blibli membukukan rugi tahun berjalan Rp 5,53 triliun pada 2022.Mahfud Minta ke DPR: Tolong Dukung RUU Perampasan Aset
Menko Polhukam Mahfud MD meminta DPR agar mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.Mahfud MD: DPR Aneh, Kadang Marah-marah, Ternyata Makelar Kasus
Menko Polhukam sekaligus Ketua Komite TPPU Mahfud MD menyindir anggota DPR yang sering berlaku aneh.Tag Terpopuler
Terpopuler
