Rabu, 31 Mei 2023

Mengeroyok Tiongkok

Investor.id
24 Mei 2023 | 09:00 WIB
BAGIKAN
Logo Tesla terlihat di pabriknya di Shanghai, Tiongkok pada 13 Mei 2021. (Foto: REUTERS/Aly Song)
Logo Tesla terlihat di pabriknya di Shanghai, Tiongkok pada 13 Mei 2021. (Foto: REUTERS/Aly Song)

Siapapun tidak suka jika kekuasaannya terusik. Entah itu di lingkup organisasi, perusahaan, lembaga, partai, pemerintahan, bahkan di level negara di level global. Kekuasaan dan dominasi ekonomi yang dinikmati negara-negara maju yang sudah bertahan beberapa dekade, kini terusik oleh kedigdayaan ekonomi Tiongkok.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara maju kelompok G-7 di Hiroshima, pekan lalu, serangan terhadap Tiongkok menyeruak. G-7 kompak menyudutkan Negeri Tirai Bambu itu tanpa tedeng aling-aling. Segala dosa dan praktik curang Tiongkok diungkap dan seruan untuk menyudutkan negara itu digaungkan ke seluruh dunia.

Dominasi Tiongkok di bidang ekonomi dinilai sudah mendistorsi ekonomi global. Kelompok Tujuh itu sepakat perlunya mengurangi risiko, dengan melakukan diversifikasi rantai pasok untuk menjaga ketahanan ekonomi global. Ketergantungan dunia terhadap produk-produk tertentu Tiongkok mesti dikurangi.
G-7 bahkan memberikan narasi tentang praktik jahat Tiongkok yang harus dilawan. Di antaranya adalah transfer teknologi yang tidak sah dan pengungkapan data. Karena itu, G-7 harus melindungi teknologi canggih yang strategis dan penting untuk keamanan nasionalnya. G-7 sepakat pula untuk melawan praktik berbahaya yang merugikan pekerja di negara masing-masing.

Mengapa G-7 begitu ketakutan dengan cengkeraman ekonomi Tiongkok, terlebih Amerika Serikat? Selama ini, poros ekonomi dunia memang berpusat di G-7, terutama Amerika Serikat yang memang memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia. Adalah Tiongkok yang mulai berani menantang hegemoni barat, khususnya Amerika, sehingga muncullah perang dagang antara AS dan RRT dalam berbagai episode.

Perang dagang kedua negara besar itu dipicu berbagai hal. Yang utama tentu saja defisit perdagangan AS dengan Tiongkok yang terus membesar, tahun lalu hampir mencapai US$ 400 miliar. Sumber konflik lain adalah praktik perdagangan yang dilakukan RRT, antara lain lewat dumping, subsidi, atau pelemahan mata uang agar produk-produknya makin berdaya saing di level global.

Tiongkok memang berani menantang AS, meski keduanya saling memiliki ketergantungan yang tinggi. PDB Tiongkok adalah terbesar kedua, senilai US$ 17,7 triliun atau 18,4% dari PDB global. Ekspor Tiongkok mencapai US$ 3,55 triliun atau menguasai hampir 13% ekspor global. Sementara itu, RRT mengimpor barang dari berbagai negara dengan nilai US$ 3,1 triliun atau hampir 12% impor global. Artinya, Tiongkok memang menjadi pasar ekspor yang menggiurkan.

Apakah Tiongkok layak disudutkan dengan berbagai tuduhan tersebut? Terlepas bahwa apa yang disuarakan G-7 tersebut valid atau tidak, jujur harus diakui bahwa negara-negara maju pun pernah melakukan hal serupa. Negara-negara maju dengan kekuatan ekonominya cenderung menekan negara-negara berkembang, bahkan merugikan.

Contoh yang selalu berulang adalah serangan negara-negara maju atas berbagai produk ekspor negara berkembang yang dianggap mengandung unsur subsidi atau dumping. Dalam berbagai pembuktian, sebagian tuduhan itu tidak benar. Padahal, negara-negara maju juga masih memberikan subsidi untuk produk tertentu, terutama pertanian, untuk melindungi petani di dalam negeri.

Banyak kasus terjadi ketika produk negara berkembang, termasuk Indonesia dipersulit dengan menerapkan berbagai standar dan peraturan yang tidak mampu kita penuhi. Mereka dengan berbagai dalil yang mengacu pada Undang-Undang tertentu menampik produk kita. Intinya, ketika produk dalam negeri mereka merasa terancam oleh produk impor dari negara lain, mereka akan membuat berbagai skenario dengan menciptakan hambatan, baik dalam bentuk tarif maupun nontarif (non-tariff barrier).

Sebaliknya, apabila negara berkembang juga melindungi produk dalam negeri dengan menetapkan hambatan tarif, nontarif, maupun safe guard, pasti negara-negara maju akan teriak-teriak. Mereka sudah menyiapkan senjata untuk melakukan retaliasi. Ujung dari sengketa itu sudah jelas, negara berkembang dalam posisi tidak berkutik alias bertekuk lutut. Negara berkembang sudah sering menjadi korban standar ganda negara maju.

Itulah sebabnya, ketika Tiongkok dengan kekuatan ekonominya mulai melawan negara-negara maju dalam beberapa tahun terakhir, dalam tahap tertentu, Tiongkok seolah mewakili suara batin negara berkembang yang selama ini tertekan oleh hegemoni negara maju. Tiongkok menjadi teman tempat berlindung untuk melawan kesemena-menaan negara maju dalam berbagai hubungan ekonomi. Meskipun, dalam kasus tertentu, negara berkembang pun bisa juga ‘dikerjain’ Tiongkok.

Dalam konteks itu, betapa perimbangan kekuatan ekonomi global menjadi keniscayaan. Kemajuan ekonomi Tiongkok menjadi penyeimbang yang bisa membuat tatanan ekonomi global lebih sehat dan berdaya tahan. Meski demikian, praktik-praktik yang merugikan, yang berlawanan dengan standar aturan global tetap tidak bisa dibenarkan. Negara mana pun pelakunya, tanpa kecuali.

Sementara itu, serangan G-7 terhadap Tiongkok juga memunculkan peluang bisnis bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Tekad G-7 untuk mengurangi pasokan produk-produk Tiongkok menjadi peluang produk ekspor kita untuk mengisinya. Namun kuncinya satu, produk kita harus kompetitif.

Peluang lain adalah investasi langsung. Keinginan G-7 untuk mengurangi investasinya di Tiongkok juga merupakan momentum bagi kita untuk menampung limpahan investasi tersebut. Potensi relokasi pabrik menjadi peluang besar. Untuk itulah, Indonesia harus benar-benar memperbaiki iklim investasi, agar mereka tidak lari ke negara lain.

Alhasil, konflik dan sengketa apapun yang terjadi antara G-7 dan Tiongkok, kita berharap hal itu tidak menambah ketidakpastian dan merusak tatanan ekonomi global. Koridor hukum bisnis internasional tetap harus dijadikan pijakan. Bagi Indonesia, penguatan ketahanan domestik harus terus berlanjut agar perekonomian nasional tetap resilien. ***

Editor: Hari Gunarto (hari_gunarto@investor.co.id)

Dapatkan info hot pilihan seputar ekonomi, keuangan, dan pasar modal dengan bergabung di channel Telegram "Official Investor.ID". Lebih praktis, cepat, dan interaktif. Caranya klik link https://t.me/+ijaEXDjGdL1lZTE1, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS

BAGIKAN

Berita Terkini


Market 11 menit yang lalu

Harga Minyak Turun Tajam Terseret Sentimen Negatif Ini

Harga minyak mentah berjangka turun tajam pada akhir perdagangan Selasa (31/5/2023). Terseret sentimen negatif ini
Market 26 menit yang lalu

Pasar Kripto Meningkat, Bitcoin Bertahan di Level US$ 27 Ribu

Pasar kripto meningkat dalam 24 jam terakhir. Bitcoin bertahan di level US$ 27 ribu.
National 36 menit yang lalu

Cari lokasi SIM Keliling di Jakarta? ini Infonya...

Cari lokasi SIM Keliling di Jakarta? Ini infonya...
Market 46 menit yang lalu

MNC Sekuritas: IHSG Terkoreksi, Pemodal Berpotensi Beli Murah ANTM Hingga UNVR

MNC Sekuritas  memprediksi IHSG hari ini terkoreksi. Pemodal berpotensi beli murah atau buy on weakness  saham ANTM hingga UNVR.
Market 56 menit yang lalu

Saham-Saham Inggris, Jerman dan Prancis Ditutup Melemah

Saham-saham Inggris, Jerman dan Prancis ditutup melemah pada perdagangan Selasa (30/5/2023).
Copyright © 2023 Investor.id