Dilema Bank Indonesia

Dinamika yang terjadi dalam perekonomian Amerika Serikat (AS) sungguh sulit ditebak. Kondisi tersebut menjadi penyebab kebijakan Bank Sentral AS (The Federal Reserve) juga bisa berubah-ubah. Demikian pula pernyataan Chairman The Fed, Jerome Powell yang tiba-tiba belok arah karena perkembangan yang tak terduga. Maka, kadar ketidakpastian perekonomian global pun kian bertambah.
Pada pertemuan terakhir Federal Open Market Committee (FOMC) awal Mei lalu, The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps ke 5-5,25% atau level tertinggi dalam 16 tahun terakhir sejak Agustus 2007. Ini merupakan kenaikan ke-10 sejak The Fed menaikkan suku bunga pada Maret 2022 dengan total akumulasi kenaikan sebesar 500 bps.
Jerome Powell memang sempat mengisyaratkan akan membuka opsi menghentikan kenaikan lebih lanjut. Pelaku pasar dan analis menerjemahkan bahwa kenaikan kali ini merupakan kenaikan suku bunga terakhir. Pasar finansial tidak lagi memprediksi penaikan suku bunga pada Juni, tetapi justru melihat kemungkinan penurunan suku bunga di semester kedua mendatang.
Namun, Powell menolak ekspektasi tersebut. Dia tidak menjamin The Fed akan mempertahankan suku bunga pada pertemuan Juni nanti. Sebab, inflasi tetap tinggi, kenaikan harga-harga masih berlanjut, serta kondisi ketenagakerjaan masih ketat. Bagaimanapun, arah kebijakan suku bunga The Fed ke depan tetap tergantung pada data inflasi, pasar tenaga kerja, dan kondisi kredit.
Jadi, terlalu dini untuk mengatakan bahwa siklus kenaikan suku bunga telah berakhir. Maka, ketika beberapa anggota dewan gubernur Federal The Fed memberi sinyal bahwa pada pertemuan Juni nanti kemungkinan besar ada kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) sebesar 25 basis poin, pasar menjadi gusar. Analisis dan prediksi para ekonom pun akhirnya berantakan lagi. Lagi-lagi, salah satu alasan kenaikan suku bunga itu terutama adalah inflasi yang masih melambung. Namun, survei terbaru menyebut bahwa terjadi peningkatan persentase ekonom yang memprediksi suku bunga The Fed tetap bertahan.
Sinyal terbaru The Fed itu tentu saja menyulitkan Bank Indonesia (BI). BI berada dalam posisi dilematis. Sebab, Gubernur BI Perry Warjiyo pernah melontarkan bahwa suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse Repo Rate/BI7DRR) yang berlaku saat ini, yakni 5,75%, akan dipertahankan hingga akhir tahun. Bahkan ada potensi untuk menurunkan suku bunga sebelum tutup tahun.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 24-25 Mei 2023 memutuskan untuk mempertahankan BI7DRR sebesar 5,75%. BI menilai keputusan tersebut konsisten dengan stance kebijakan moneter untuk memastikan inflasi inti terkendali dalam kisaran 3,0±1% di sisa tahun 2023 dan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) dapat segera kembali ke dalam kisaran sasaran 3,0±1% pada kuartal III-2023.
Pertanyaannya, apakah jika The Fed menaikkan lagi suku bunga 25 bps ke 5,25-5,50% pada Juni nanti, BI tidak ikut menaikkan suku bunga? Tidak mudah untuk memutuskan hal ini. Yang jelas, inflasi di Indonesia relatif terkendali di level yang rendah. Bahkan inflasi pada periode Ramadan dan Lebaran kemarin lebih rendah dibanding tahun lalu. Tren inflasi terus menurun dan pada April tercatat 4,33%, dengan inflasi inti 2,83% (yoy), dipengaruhi ekspektasi inflasi dan tekanan imported inflation yang menurun, serta pasokan yang memadai dalam merespons kenaikan permintaan barang dan jasa.
Selain itu, nilai tukar rupiah saat ini juga dalam kondisi bagus. Sejak awal tahun, rupiah justru terapresiasi terhadap dolar sebesar 4,48%, didukung cadangan devisa yang solid, mencapai US$ 144,2 pada April 2023. Penguatan rupiah bahkan lebih baik dibanding sejumlah negara tetangga di Asean. Apresiasi Thailand hanya sebesar 0,20%, India sebesar 0,08%, serta Filipina justru terdepresiasi sebesar 0,10%.
Di lain sisi, ada argumen lain bahwa selisih suku bunga acuan BI (BI7DRR) dengan FFR harus menjadi pertimbangan utama. Saat ini, selisih keduanya sebesar 0,50-0,75%. Jika nanti Juni FFR naik, artinya perbedaan keduanya kian tipis, hanya 0,25-0,50%. Padahal, spread suku bunga yang aman sebaiknya minimal 1%.
Namun, harus diingat bahwa masih ada parameter lain yang perlu dijadikan acuan, yakni imbal hasil (yield) obligasi Pemerintah AS, T-bond. Saat ini selisih imbal hasil T-bond dan Surat Berharga Negara (SBN) masih cukup lebar, sehingga SBN tetap menarik bagi investor, terutama investor asing.
Dengan berbagai tren dan realitas tersebut, sebaiknya memang Bank Indonesia tidak terburu-buru menaikkan suku bunga, andai FFR naik pada Juni nanti. Level suku bunga acuan 5,75% saat ini masih cukup kondusif untuk menjaga stabilitas ekonomi. Level tersebut juga kondusif untuk menjaga nilai tukar rupiah, karena aliran modal masuk tetap terjaga dengan baik.
Terlebih lagi, berbagai indikator ekonomi yang ada menggambarkan tentang kuatnya fundamental ekonomi nasional. Inflasi terjaga rendah, cadangan devisa cukup tebal, neraca pembayaran membaik, kurs rupiah stabil dan cenderung terapresiasi terhadap dolar AS, serta pertumbuhan ekonomi bisa dipertahankan di level 5%-an.
Sementara itu, inflasi global terus berlanjut terutama dipengaruhi oleh proses disinflasi negara berkembang yang lebih cepat sedangkan penurunan inflasi negara maju lebih lambat akibat pasar tenaga kerja yang ketat. Ketidakpastian pasar keuangan global tetap tinggi karena dipengaruhi kebuntuan solusi batas utang (debt ceiling) di AS.
Namun, di tengah ketidakpastian pasar keuangan global tersebut, aliran masuk modal asing ke negara berkembang termasuk Indonesia tetap berlanjut, seiring prospek perekonomian yang lebih baik. Neraca transaksi modal dan finansial diprediksi mencatat surplus didukung oleh aliran masuk modal asing dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan investasi portofolio.
Ketahanan sistem keuangan, khususnya perbankan, tetap terjaga. Permodalan perbankan kuat dengan rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 24,69%. Risiko kredit juga terkendali dengan rasio kredit bermasalah (NPL) yang rendah, yaitu 2,49% (bruto) dan 0,72% (neto). Hasil stress test Bank Indonesia juga menunjukkan ketahanan perbankan tinggi. Kredit tumbuh baik, terutama di sektor korporasi.
Alhasil, Bank Indonesia sebaiknya tetap menjaga suku bunga acuan di level sekarang, karena cukup kondusif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sektor keuangan. ***
Editor: Hari Gunarto (hari_gunarto@investor.co.id)
Dapatkan info hot pilihan seputar ekonomi, keuangan, dan pasar modal dengan bergabung di channel Telegram "Official Investor.ID". Lebih praktis, cepat, dan interaktif. Caranya klik link https://t.me/+ijaEXDjGdL1lZTE1, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS
Berita Terkini
Cari lokasi SIM Keliling di Jakarta? ini Infonya...
Cari lokasi SIM Keliling di Jakarta? Ini infonya...MNC Sekuritas: IHSG Terkoreksi, Pemodal Berpotensi Beli Murah ANTM Hingga UNVR
MNC Sekuritas memprediksi IHSG hari ini terkoreksi. Pemodal berpotensi beli murah atau buy on weakness saham ANTM hingga UNVR.Saham-Saham Inggris, Jerman dan Prancis Ditutup Melemah
Saham-saham Inggris, Jerman dan Prancis ditutup melemah pada perdagangan Selasa (30/5/2023).Terungkap! Rencana di Balik IPO Amman Mineral
PT Amman Mineral Internasional Tbk akhirnya siap menggelar penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham.Tok! Amman Mineral Internasional IPO, Incar Dana Rp 12,9 T
PT Amman Mineral Internasional Tbk akhirnya siap menggelar penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham.Tag Terpopuler
Terpopuler
