Jumat, 24 Maret 2023

Pembelajaran dari Penyusutan Likuiditas

Oleh Haryo Kuncoro *)
12 Mar 2023 | 11:00 WIB
BAGIKAN
Haryo Kuncoro, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta, Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara ISEI Pusat.
Haryo Kuncoro, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta, Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara ISEI Pusat.

Peristiwa yang sedikit ‘langka’ terjadi di sektor moneter Indonesia. Likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) mengalami penurunan. Bank Indonesia (BI) mencatat volume M2 pada Januari 2023 sebesar Rp 8.271,7 triliun atau menyusut dari Rp 8.528,0 triliun pada Desember 2022.

Penyusutan likuiditas nasional juga dialami pada komponen uang beredar dalam arti sempit (M1), baik dari besaran nominal maupun dari sisi pertumbuhannya. Jika komponen M1 pada Desember 2022 menembus Rp 4.834,6 triliun, pada Januari 2023 tercatat menjadi ‘hanya’ seputaran Rp 4.581,3 triliun.

Komponen manapun yang dirujuk, penurunan jumlah uang beredar niscaya menjadi pertanyaan besar. Kelaziman yang berlaku dalam perekonomian banyak negara, jumlah uang beredar M1 dan M2 senantiasa bertambah, bahkan pertambahannya cenderung mengikuti pola deret ukur, alih-alih deret hitung.

Tesis di atas tidak mengada-ada. Komponen uang M1 sudah mengalami perluasan definisi. Sejak posisi data per September 2021, M1 mencakup uang kartal (uang kertas dan uang logam) yang berada di luar bank umum dan BPR, giro rupiah, serta tabungan rupiah yang dapat ditarik sewaktu-waktu.

Advertisement

Tinjauan historis juga mendukung hal itu. Uang dalam sejarahnya diciptakan untuk memfasilitasi pertukaran barang/jasa. Jauh sebelum mengenal uang, manusia memenuhi kebutuhannya dengan barter. Barter mensyaratkan barang/jasa yang dipertukarkan harus bisa saling memenuhi kebutuhan kedua pihak.

Kesulitan menemukan mitra barter yang cocok mendorong kebutuhan akan alat tukar. Dengan perantaraan uang, barang/jasa yang akan dibarterkan cukup dijual kepada pihak ketiga. Uang hasil penjualan dari pihak ketiga bisa dibelikan barang/jasa kebutuhannya kepada pihak lainnya lagi. Intinya, uang sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan.

Dalam posisinya sebagai media pertukaran (medium of exchange), perpindahan uang antara pelaku ekonomi satu dengan pelaku ekonomi lain selalu disertai dengan transaksi barang/jasa sebagai aset rujukannya. Barang/jasa yang ditransaksikan adalah barang ekonomi yang mempunyai harga, alih-alih barang bebas yang tidak memiliki harga.

Fisher (1911) merangkum hubungan antara kuantitas uang dan barang/jasa ke dalam satu persamaan, yakni jumlah uang dikali velositas sama besar dengan nilai dari barang/jasa yang ditransaksikan. Dengan asumsi velositas tidak berubah, peredaran uang mengikuti nilai barang/jasa yang dipertukarkan.

Sampai di sini, kerangka konseptual dari Fisher tampaknya tidak mampu menjelaskan penyebab di balik fenomena penurunan likuiditas di Indonesia. Pertukaran barang/jasa di pasar yang secara agregat diukur dengan produk domestik bruto toh tetap tumbuh, meski masih terimbas oleh dampak pandemi Covid-19.

Menggeser fokus jawaban pada faktor harga juga tidak memuaskan. Dengan asumsi barang/jasa dan velositas tidak mengalami perubahan, penurunan likuiditas hanya dimungkinkan dari penurunan tingkat harga. Padahal tingkat harga sedang mengalami tren peningkatan yang dikenal luas sebagai inflasi.

Kemiripan cerita yang juga terjadi asumsi velositas hendak ditanggalkan. Aspek ini cerminan dari perilaku masyarakat dalam memegang uang. Velositas jarang bisa berubah apalagi dalam jangka waktu yang sangat singkat. Asumsi velositas yang konstan, atau setidaknya stabil, agaknya tetap relevan.

Kesenjangan

Alhasil, ada kesenjangan antara proposisi teori di atas kertas dan kenyataan yang terjadi di lapangan. Kesenjangan bukan terletak pada kesalahan pencatatan jumlah uang beredar. BI niscaya sudah memiliki prosedur baku yang akuntabel dalam merekam setiap pergerakan uang sempit dan uang luas tadi.

Gap antara ‘yang seharusnya’ dengan ‘yang senyatanya’ juga bukan lantaran kekeliruan teori yang dirujuk. Teori dibangun atas dasar logika yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Keabsahan teori tetap kukuh lantaran sudah melalui pengujian empiris yang panjang.

Titik temu untuk mengompromikan antara ‘yang seharusnya’ dengan ‘yang senyatanya’ harus kembali menengok pada lingkungan yang melingkupinya. Teori dan fakta tidak bergerak di dalam ruang hampa, melainkan ada dalam situasi dan kondisi yang memungkinkan keduanya dinamis.

Beranjak dari pemikiran ini, penyusutan likuiditas kemungkinan besar bersumber dari faktor lain yang berada di luar jangkauan masyarakat sebagai pemegang uang. Sebagai bagian integral dari sebuah bangunan besar ekosistem moneter, faktor kebijakan yang diambil otoritas moneter agaknya banyak berperan di sini.

Alhasil, penurunan uang beredar sangat terkait dengan pengetatan moneter lewat ketentuan giro wajib minimum (GWM). Kewajiban GWM rupiah untuk bank umum konvensional dinaikkan secara progresif menjadi 6% per 1 Juni 2022, 7,5% per 1 Juli 2022, dan selanjutnya menuju 9% mulai 1 September 2022.

Rasio GWM menunjukkan persentase dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun perbankan wajib disimpan dalam rekening giro di BI. Konsekuensinya, porsi dana yang bisa siap diputar perbankan menjadi lebih kecil sehingga kemampuan perbankan untuk menciptakan uang sekunder (M2) pun juga menurun.

Akumulasi dampak kenaikan progresif GWM tersebut agaknya baru terasa di awal tahun ini. Perlambatan pertumbuhan tahunan M2 (dari 8,4% menjadi 8,2%) dan M1 (dari 9,5% menjadi 8,5%) pada periode Desember 2022 sampai Januari 2023 tampaknya mendukung argumen awal soal kebijakan.

Pengetatan moneter lewat kenaikan GWM memang terbukti sukses mengurangi jumlah uang beredar. Di satu sisi, kebijakan pengetatan moneter ditujukan untuk meredam laju inflasi agar tidak terlalu kencang. Akan tetapi, besaran penurunan jumlah uang beredar masih lebih tinggi daripada angka inflasi yang berhasil ditekan.

Bagi pemerintah dan otoritas ekonomi terkait, fenomena penurunan likuiditas yang bersifat musiman ini perlu diantisipasi dengan seperangkat strategi yang mampu menyasar sejak dari sumbernya. Jika demikian, penyusutan likuiditas fluktuasi seolah menjadi ‘ombak kecil’ di tengah ‘lautan’ perekonomian yang tenang.

Di sisi lain, dampak penaikan GWM pada penyusutan jumlah uang beredar secara nominal bisa dibilang tidak terlalu besar. Jika diukur secara bentuk riil, penyusutan jumlah uang beredar tersebut jauh lebih kecil lagi. bagaimanapun, uang M1 memiliki kemampuan sebagai media pertukaran yang lebih tinggi.

Daya beli sebagai ukuran riil uang M1 jauh lebih sensitif terhadap fluktuasi harga. Oleh karenanya, publik memegang uang M1 dalam jumlah yang lebih sedikit untuk mengompensasi tingginya inflasi. Perlambatan yang timpang antara pertumbuhan M2 dan M1 dengan sendirinya menjelaskan hal ini.

Pembelajaran

Bahwa sumber utama penurunan likuiditas adalah M1 adalah isu lain yang patut diwaspadai. Daya beli M1 terkait erat dengan komoditas konsumsi. Dengan demikian, penurunan M1 bisa diasosiasikan dengan perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga, meski indikasi ini hanya berlaku untuk titik waktu tertentu.

Sebagai konsekuensinya, fenomena penurunan likuiditas hanya bersifat temporer. Jumlah uang beredar akan naik lagi saat inflasi kembali ke level ‘normal’. Artinya, penyusutan likuiditas bisa dipandang sebagai peristiwa insidental yang terjadi pada satu titik waktu, alih-alih berlaku untuk rentang waktu yang panjang.

Potensi likuiditas untuk kembali ke posisi ekuilibrium dalam jangka pendek masih sangat terbuka. Masyarakat biasanya banyak melakukan konsumsi pada momen Ramadhan dan Idul Fitri. Terlebih lagi, pemerintah sudah melonggarkan PPKM sehingga mobilitas dan aktivitas masyarakat makin menggeliat.

Peredaran uang juga berpotensi meningkat pada semester II-2023. Kampanye yang dilakukan menjelang Pemilu awal 2024 menjadi titik tolak yang potensial. Seiring hal ini, otoritas ekonomi perlu untuk tetap menjaga aktivitas konsumsi masyarakat. Apalagi, konsumsi menopang lebih dari separuh produk domestik bruto (PDB).

Salah satu hal yang paling penting adalah dengan menjaga keyakinan masyarakat terkait kondisi ekonomi saat ini maupun prospeknya ke depan. Risiko ketidakpastian global yang masih membayang tahun ini perlu disikapi secara produktif dengan memperkuat fundamental ekonomi Indonesia agar tetap kukuh.

Alhasil, fenomena penyusutan likuiditas memberikan pembelajaran yang sangat baik bagi semua pemangku kepentingan. Bagi rumah tangga konsumen, penyusutan likuiditas tidak serta merta direspons secara psikologis sebagai kabar buruk yang kemudian akan memengaruhi aktivitas ekonomi ke depannya.

Bagi dunia usaha, fenomena penyusutan likuiditas tidak sepatutnya lantas dipersepsikan sebagai penurunan daya beli yang lantas meredupkan produksinya. Daya beli konsumen masih potensial, hanya tersimpan alias belum dibelanjakan untuk sementara. Pada waktunya, kegiatan konsumsi akan kembali mengalir.

Bagi pemerintah dan otoritas ekonomi terkait, fenomena penurunan likuiditas yang bersifat musiman ini perlu diantisipasi dengan seperangkat strategi yang mampu menyasar sejak dari sumbernya. Jika demikian, penyusutan likuiditas fluktuasi seolah menjadi ‘ombak kecil’ di tengah ‘lautan’ perekonomian yang tenang. Setuju?

*) Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta, Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara ISEI Pusat.

Editor: Totok Subagyo (totok_hs@investor.co.id)

Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS

BAGIKAN

Berita Terkait


Berita Terkini


Market 12 menit yang lalu

Boy Thohir Mundur, Merdeka Copper (MDKA) Ambil Langkah Ini

PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) akan menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB).
International 19 menit yang lalu

Regulator Swiss Pertahankan Obligasi Kontroversial Credit Suisse US$ 17 Miliar

Regulator Swiss FINMA mempertahankan keputusannya agar Credit Suisse menghapuskan obligasi AT1 sebagai syarat penjualan darurat CS ke UBS.
Market 23 menit yang lalu

Pasar Kripto Reli, Bitcoin Butuh Katalis Baru

Pasar kripto reli, Bitcoin membutuhkan katalis baru agar bisa menembus level US$ 30 ribu.  
Market 44 menit yang lalu

STA Resources (STAA) Cetak Penjualan Rp 6 Triliun, Wilmar Pembeli Terbesar

Sumber Tani Agung Resources (STAA) atau STA Resources membukukan penjualan Rp 6 triliun, Wilmar menjadi pembeli terbesar.
Market 1 jam yang lalu

Pilarmas: IHSG Melemah Terbatas, Cuan Bakal Bertebaran pada Lima Saham Ini

Pilarmas mengatakan, berdasarkan analisa teknikal, melihat IHSG hari ini berpotensi melemah terbatas. Cuan bakal bertebaran pada lima saham
Copyright © 2023 Investor.id