NEW YORK, investor.id – Tingkat konsumsi Tiongkok yang terus-menerus melemah akan menghalangi para pelaku usaha mengenakan harga yang lebih tinggi. Bahkan di saat biaya produksi terus meningkat. Demikian disampaikan Leland Miller, ceo China Beige Book International – sebuah perusahaan data dan analitik independen yang berbasis di Amerika Serikat (AS).
“Dinamika paling bermasalah dari pemulihan Tiongkok – yang secara keseluruhan sangat kuat dalam satu setengah tahun terakhir – masalah utamannya adalah bahwa konsumen belum sepenuhnya kembali (pulih). Sampai ada reset dalam pengeluaran rumah tangga, bisnis tidak akan bisa menaikkan harga banyak. Ini pada dasarnya akan menjadi masalah di sisi produksi dan, Anda tahu, khususnya di sisi pabrik,” ujar Miller dalam program CNBC “Squawk Box Asia” pada Kamis (10/6).
Berdasarkan data yang dirilis Rabu (9/6), menunjukkan biaya produksi mengalami kenaikan pada laju yang jauh lebih cepat daripada harga jual ke konsumen swasta. Hal ini menciptakan kesenjangan antara indeks harga produsen (IHP) dan indeks harga konsumen (IHK) pada Mei. Catatan tersebut ikut merugikan jumlah uang yang dapat dihasilkan oleh produsen.
Pada data resmi Rabu, harga produsen Tiongkok pada Mei dilaporkan melonjak 9% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ini kenaikan tercepat sejak September 2008.
Menurut Miller, situasi inflasi di Negeri Tirai Bambu saat ini sangat terfokus dan terpusat pada komoditas, serta pabrik-pabrik yang terhimpit biaya.
“Ya, ada masalah inflasi. Ya, itu akan sulit bagi beberapa partai di Tiongkok. Tapi secara khusus, itu di sisi produksi. Belum beralih ke sisi konsumen. Ini adalah masalah yang cukup spesifik di Tiongkok sekarang, meskipun agak intens untuk saat ini,” katanya.
Dampak ke Jasa dan Ritel
Terlepas keberhasilan yang dicapai sebelumnya dalam menahan penyebaran virus corona Covid-19, yang pertama kali dilaporkan di kota Wuhan, Tiongkok. Perekonomian Tiongkok termasuk di antara sedikit di kawasan Asia yang mengalami pertumbuhan pada 2020.
Namun, ancaman virus corona tetap ada. Apalagi ada lonjakan infeksi baru-baru ini di kota besar Guangzhou yang diketahui merupakan varian Delta – yang pertama kali diidentifikasi di India – sehingga mendorong dilakulan tes massal dan karantina atau lockdown lokal.
“Anda melihat masalah Covid yang belum hilang. Selama Covid masih ada, Anda akan merasakan tekanan pada jasa, tekanan pada ritel,” kata Miller.
Meskipun sangat stabil, lanjut Miller, sektor jasa di Tiongkok telah gagal keluar dari kebiasaannya.
“Setiap satu atau dua bulan layanan yang lebih kuat, Anda tahu, itu berbalik sendiri. Sektor ini (jasa) belum menjadi pendorong ekonomi dan begitu juga dengan ritel. Jika Anda ingin melihat ekonomi yang lebih sehat, atau segala jenis kenormalan seperti yang dibicarakan masyarakat mengenai kenormalan maka Anda harus melihat jasa dan ritel yang lebih kuat, dan ketergantungan yang lebih sedikit pada manufaktur dan komoditas,” demikian penjelasan Miller.
Editor : Happy Amanda Amalia (happy_amanda@investor.co.id)
Sumber : Investor Daily
Berita Terkait