TOKYO, investor.id – Negara-negara Asia harus mewaspadai risiko limpahan pengetatan kebijakan moneter kepada ekonomi. Pasalnya, kebijakan pelonggaran non konvensional oleh bank sentral utama selama satu dekade ditarik lebih cepat dari yang diharapkan, kata Wakil Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kenji Okamura.
Risiko ini terutama berlaku untuk ekonomi yang paling rentan, kata Okamura, tanpa menyebutkan nama-nama negara dengan risiko tertinggi.
Baca juga: AS Investasi US$ 3,5 Miliar untuk Mulai Simpan CO2
Ekonomi negara-negara Asia menghadapi pilihan antara mendukung pertumbuhan dengan lebih banyak stimulus atau malah menarik stimulus untuk menstabilkan utang dan inflasi, katanya.
Sementara kebijakan bank sentral Jepang (BoJ) bertentangan dengan pergeseran global menuju pengetatan moneter, bank sentral di Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Australia menaikkan suku bunga baru-baru ini.
Okamura, mantan wakil menteri keuangan Jepang untuk urusan internasional, juga mengatakan bahwa pandemi Covid-19, perang di Ukraina, hingga kondisi keuangan global yang lebih ketat akan membuat tahun ini menantang bagi ekonomi Asia.
Perang itu mempengaruhi Asia melalui harga komoditas yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang lebih lambat di Eropa, lanjutnya.
Okamura berbicara di acara media pertamanya sejak menjadi salah satu dari empat wakil direktur pelaksana di pemberi pinjaman global tersebut tahun lalu. Ia memberi peringatan tentang prospek pengetatan yang lebih kuat jika ekspektasi inflasi terus melonjak.
Baca juga: IMF: Asia Hadapi Proyeksi Stagflasi di Tengah Perang Ukraina
“Ada risiko bahwa ekspektasi inflasi yang melayang bisa memerlukan pengetatan yang lebih kuat lagi,” paparnya.
Okamura juga menyerukan kebijakan yang dikalibrasi dan komunikasi yang jelas untuk kebijakan baru.
Editor : Grace El Dora (graceldora@gmail.com)
Sumber : REUTERS