NUSA DUA, investor.id – Kelompok negara G-20 gagal menghasilkan komunike bersama dalam pembicaraan iklim di Nusa Dua, Bali, Rabu (31/8). Sekalipun Indonesia selaku tuan rumah mengingatkan bahwa kelompok negara ekonomi terdepan dunia ini harus bekerja sama memerangi pemanasan global atau dunia jatuh ke dalam kegelapan.
Pertemuan satu hari itu berakhir dengan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) Indonesia Siti Nurbaya Bakar mengatakan, Indonesia selaku ketua G-20 hanya akan mengeluarkan ringkasan dari sasaran pertemuan. Hal tersebut dipandang mencerminkan perbedaan di antara negara-negara anggota tentang bagaimana mengatasi perubahan iklim.
Kegagalan mencapai pernyataan bersama itu terjadi di akhir bulan yang mana dunia menyaksikan lebih dari 1.000 orang di Pakistan meninggal dunia karena banjir bandang. Yang dipersalahkan karena dampak perubahan iklim. Dan juga rekor gelombang panas yang menyengat hingga separuh wilayah di Tiongkok.
Baca Juga: Mitigasi Perubahan Iklim, Pabrik Danone-Aqua Mambal Aplikasikan PLTS Atap
Pada konferensi pers penutupan pertemuan, Bakar mengatakan bahwa dalam ringkasan itu akan dijelaskan komitmen dan langkah-langkah bersama G-20.
Situasinya dilaporkan serupa dengan bulan lalu dalam pertemuan tingkat menteri keuangan. Ketika ketua pertemuan mengeluarkan pernyataan karena para menteri tidak mencapai kata sepakat soal tanggung jawab Rusia atas gejolak ekonomi global yang dilatarbelakangi invasinya ke Ukraina sejak 24 Februari 2022.
Bakar mengelak bahwa tidak tercapainya komunike bersama dalam pertemuan iklim itu lantaran masalah geopolitik.
“Kami tidak bisa mengatakannya begitu. Tapi ringkasan ketua adalah sesuatu yang dapat kami capai mengingat isu-isu geopolitik dan karena sebagian negara tidak bisa fleksibel terhadap isu-isu tertentu. Seperti di pertemuan kelompok-kelompok kerja lainnya, isu Rusia dan Ukraina telah menimbulkan ketegangan geopolitik,” tutur Bakar, seperti dikutip AFP.
Baca Juga: Perubahan Iklim Berimbas Luas terhadap Sektor Ketenagakerjaan
Sumber yang mengikuti pertemuan itu mengungkapkan bahwa sebagian besar negara anggota memulai giliran bicaranya dengan mengutuk invasi Rusia ke Ukraina. Tapi tidak sampai ada aksi keluar atau bersitegang saat giliran perwakilan Rusia yang bicara.
“Alasan tidak adanya komunike sejak awal adalah karena kehadiran Rusia hari ini,” kata sumber tersebut kepada AFP.
Walaupun Rusia hanya mengirimkan wakil menteri untuk pembangunan ekonomi untuk pertemuan iklim tersebut.
Sulit karena Rusia
Tapi sejak awal, para menteri G-20 diperkirakan tidak mencapai hasil pertemuan yang sesuai ekspektasi. Ada rasa frustrasi terkait minimnya tindakan-tindakan nyata ketika invasi Rusia ke Ukraina, yang telah mendorong beberapa pemerintah untuk terus menggunakan batubara lebih lama dari yang diharapkan.
“Banyak negara di dunia mengecam keras agresi Rusia di Ukraina. Jadi sulit untuk bernegosiasi dengan Rusia,” ujar Menteri Iklim dan Energi Belanda Rob Jetten, kepada CNBC di Bali.
Rusia sendiri termasuk di antara negara anggota G-20. Indonesia sudah mengungkapkan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin akan mengambil bagian dalam pertemuan puncak yang dijadwalkan pada November 2022.
Baca Juga: Penghentian Gas Rusia yang Baru Mengencangkan Pasokan Energi di Eropa
Sebagai informasi, negara-negara dalam kelompok G-20 mewakili sekitar 75% dari total emisi gas rumah kaca dunia. Pada 2021, G-20 mengakui bahwa tindakan untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius, di atas level pra-industri, bakal membutuhkan langkah-langkah penuh arti dan efektif.
“Ada krisis energi besar, harga di seluruh dunia tinggi, orang-orang berjuang untuk membayar energi. Dan ini juga tidak membantu aksi iklim, karena banyak negara kembali menggunakan bahan bakar fosil,” tutur Jetten.
Pasca-invasi tak beralasan Kremlin ke Ukraina dan gangguan aliran gas alam dari Rusia ke Eropa, negara-negara termasuk Belanda, Jerman dan Austria mengatakan harus membakar lebih banyak batubara, yang disebut bahan bakar fosil.
Sementara itu, pada bulan ini kantor berita Sky News dan lainnya melaporkan bahwa Rusia telah melepaskan gas alam yang biasanya diekspor ke Eropa.
Baca Juga: Presiden BRICS: Rusia dan India Tidak Butuh Lagi Dolar AS
Bagian lain dari dunia yang juga telah meningkatkan konsumsi batubara, termasuk Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang sedang dilanda gelombang panas parah di musim panas tahun ini dan terpaksa menggunakan energi dalam jumlah besar.
Keputusan tersebut, meskipun bersifat sementara, berbeda dari kesepakatan sebelumnya. Menurut seorang pejabat dari salah satu negara peserta, tantangan utama dalam pertemuan ini adalah bagaimana bisa menjaga negara-negara mengikuti target iklim.
“Banyak (negara) mencoba fleksibel. Bisakah kita menjaga target?” tambah pejabat itu.
Editor : Happy Amanda Amalia (happy_amanda@investor.co.id)
Sumber : Investor Daily
Baca berita lainnya di GOOGLE NEWS