

Presiden Amerika Serika (AS) Joe Biden menyampaikan pidato pengukuhannya setelah dilantik sebagai Presiden ke-46 AS pada 20 Januari 2021, di US Capitol di Washington, DC. ( Foto: Rob Carr / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / Getty Images via AFP )
Menanti Stimulus Rp 26.000 Triliun yang Dijanjikan Joe Biden
Frans S. Imung
JAKARTA - Sehari sebelum dilantik, Kamis (21/1/2021) waktu Indonesia, Presiden AS terpilih Joe Biden mengusulkan paket stimulus pada perlemen AS sebesar US$ 1,9 triliun. Dana untuk penanggulangan wabah corona dan pemulihan ekonomi Paman Sam ini setara Rp 26.763 triliun jika dikonversi dengan kurs Rp 14.086 per dolar AS.
Menteri Keuangan AS pilihan Joe Biden yang juga mantan Gubernur The Federal Reserve, Janet Yellan menyampaikan proposal tersebut pada parlemen AS sehari sebelum Biden dilantik. Di hadapan perlemen, Yellen mendesak agar paket stimulus ini disetujui untuk kepentingan penanggulangan wabah corona dan pemulihan ekonomi.
Bagi Yellen, kondisi AS saat ini butuh modal pemulihan yang besar ketimbang harus mengkhawatirkan risiko utang negara yang membengkak. Seperti diketahui, posisi utang pemerintah AS saat ini sebesar US$ 27 triliun, jika dirupiahkan mencapai Rp 380.330 triliun.
"Baik presiden terpilih, maupun saya tidak mengusulkan paket bantuan ini tanpa memperhatikan beban utang negara. Tapi sekarang, dengan suku bunga terendah dalam sejarah, hal paling cerdas yang bisa kami lakukan adalah bertindak besar," tegas Yellen di hadapan Komite Keuangan Senat sebagaimana diberitakan media internasional.

Bagi Yellen, jumlah utang negara saat ini cukup besar, namun tingkat suku bunga The Fed masih sangat rendah. Kondisi ini diperkirakan masih akan berlangsung cukup lama, meski tidak mengarah pada suku bunga negatif seperti halnya di Eropa.
Selain menyampaikan usulan stimulus untuk pemulihan pandemi Covid-19, Joe Biden ingin menempuh cara lebih agresif dalam upaya pemulihan ekonomi AS. Ia menyasar target pengurangan ketidaksetaraan ekonomi, melawan perubahan iklim, dan membenahi praktik perdagangan dan subsidi yang dinilainya tidak adil.
Pada sisi lain, pemerintahan Presiden Biden merencanakan untuk menaikkan pajak korporasi dan orang kaya AS. Sebab, menurut Janet Yellen, korporasi dan orang kaya AS selama ini justru diuntungkan oleh kebijakan pemotongan pajak yang diusung Partai Republik tahun 2017.
Meski demikian, Yellen menegaskan, rencana kenaikan pajak perusahaan dan orang kaya tersebut baru akan direalisasikan setelah pandemi Covid-19 telah diatasi pemerintah. Tanpa tindakan lebih lanjut, kita berisiko mengalami resesi yang lebih lama dan lebih menyakitkan sekarang dan kerusakan ekonomi jangka panjang nanti," tegas Yellen.
Editor : Frans (ftagawai@gmail.com)
Sumber : Majalah Investor