PARIS, investor.id – Pakar iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan merilis apa yang diharapkan menjadi panduan definitif untuk menghentikan pemanasan global pada Senin (4/4/2022). Laporan tersebut menjabarkan bagaimana masyarakat dan ekonomi harus berubah untuk memastikan masa depan yang dinilai layak huni.
Perang di Ukraina mendorong pemikiran ulang tentang energi yang mendesak di Barat, kata laporan terbaru para analis dari Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau IPCC. Ini diharapkan akan menjadi sumber penting bagi negara-negara yang mencari transisi energi dengan cepat, dari minyak dan gas Rusia.
Dalam beberapa bulan terakhir, IPCC telah menerbitkan dua laporan pertama dalam trilogi penilaian ilmiah raksasa yang mencakup bagaimana polusi gas rumah kaca memanaskan planet ini dan apa artinya bagi kehidupan di Bumi.
Baca juga: Soal Iklim Riset di Indonesia, Ini Penjelasan Kepala BRIN
Laporan ketiga ini akan menguraikan apa yang harus dilakukan tentang hal itu.
Tetapi jawaban itu memiliki konsekuensi politik yang luas karena solusi iklim menyentuh hampir semua aspek kehidupan modern, serta membutuhkan investasi yang signifikan.
Negosiasi yang melelahkan selama dua minggu telah membuat hampir 200 negara berjuang untuk menyusun ringkasan untuk regulator tingkat tinggi, menyaring ratusan halaman penilaian yang mendasarinya.
Pertemuan itu seharusnya rampung pada Jumat (1/4/22), tetapi terus berlanjut hingga akhir pekan. Penilaian IPCC awalnya akan dipublikasikan pada Senin pukul 0900 GMT, tetapi sekarang kemungkinan akan ditunda hingga hari ini.
“Setiap orang kehilangan sesuatu dan setiap orang memperoleh sesuatu,” kata satu orang yang dekat dengan proses tersebut, Senin.
Jawaban tidak mudah didapat. IPCC perlu merinci kebutuhan perubahan transformasional untuk pembangkit energi dan industri, serta kota, transportasi, dan sistem pangan.
Untuk menyelamatkan dunia dari kerusakan terburuk akibat perubahan iklim, laporan itu juga diharapkan memperingatkan bahwa memangkas polusi karbon dioksida (CO2) tidak lagi cukup.
Teknologi yang belum beroperasi dalam skala besar perlu ditingkatkan secara besar-besaran untuk menyedot CO2 dari atmosfer.
Batas 1,5 derajat celsius pada pemanasan global, tujuan aspirasional dari kesepakatan iklim Paris 2015, telah diterima sebagai target oleh sebagian besar negara di dunia. Pemanasan hampir 1,1 derajat celsius sejauh ini telah mengantarkan gelombang dahsyat cuaca ekstrem yang mematikan di seluruh dunia.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres memperingatkan bulan lalu bahwa negara-negara ekonomi besar membiarkan polusi karbon meningkat ketika pemotongan drastis diperlukan.
“Kita berjalan dalam tidur menuju bencana iklim,” katanya.
Baca juga: Update Perang di Ukraina: Laporan Kejahatan Perang Rusia hingga Utusan PBB di Moskow
Pada Februari, laporan IPCC tentang dampak dan kerentanan perubahan iklim di masa lalu, sekarang, dan masa depan merinci apa yang disebut Guterres sebagai atlas penderitaan manusia.
Laporan tersebut menyimpulkan tentang penundaan lebih lanjut dalam mengurangi polusi karbon dan mempersiapkan dampak yang sudah ada di pipeline. Komitmen pengurangan karbon nasional saat ini masih menempatkan dunia pada jalur bencana menuju pemanasan 2,7 derajat celsius pada 2100.
“Berapa banyak lagi kehancuran yang harus kita saksikan dan berapa banyak lagi laporan ilmiah yang diperlukan, sebelum pemerintah akhirnya mengakui bahan bakar fosil sebagai penyebab sebenarnya di balik penderitaan manusia yang dirasakan di seluruh dunia?” kata Namrata Chowdhary dari 350.org.
Fokus utama dari laporan ini adalah untuk menyapih ekonomi global dari bahan bakar fosil dan beralih ke sumber energi rendah atau nol karbon. Mulai dari energi matahari dan angin ke nuklir, hidro, dan hidrogen.
Editor : Grace El Dora (graceldora@gmail.com)
Sumber : AFP
Berita Terkait