Jumat, 24 Maret 2023

Belajar Kebijakan Moneter sampai ke Negeri Tiongkok

Tri Winarno *)
12 Mar 2023 | 08:00 WIB
BAGIKAN
Tri Winarno, Mantan Ekonom Senior BI
Tri Winarno, Mantan Ekonom Senior BI

Sebastian Mallaby dari Dewan Hubungan Internasional Amerika Serikat (AS) mengumumkan bahwa tahun 2020 adalah awal dari ”the age of magic money”. Negara-negara maju mencoba mendefinisikan ulang batas maksimal kekuatan kebijakan moneter dan fiskalnya.

Pada Juli 2022, Mallaby meramalkan bahwa abad ”magic money” tersebut telah berakhir. Namun, pada saat negara-negara maju saat ini sedang mengarah pada pembalikan kebijakan quantitative easing (QE) dengan melakukan kenaikan tingkat suku bunga kebijakan, Tiongkok justru bergerak ke arah yang berlawanan, yaitu sedang melakukan kebijakan pengendoran moneter. Suatu eksperimen kebijakan yang tak biasa dan bernyali.

Para pengamat dan pakar moneter internasional sering melupakan bahwa kebijakan QE pada awalnya  ditemukan oleh Bank of Japan (BOJ) tahun 2001 sebagai alat untuk mengatasi masalah deflasi neraca bank sentral Jepang. Instrumen moneter lainnya berupa kebijakan zero interest rate dan forward policy guidance. Sehingga neraca keuangan BOJ melambung dari 20% produk domestik bruto (PDB) pada 2001 menjadi 30% pada akhir Desember 2006, yang pemicu utamanya adalah pembelian sekuritas baik berupa obligasi maupun saham dari pemerintah Jepang.

Itu didasari dari pengamatan Nomura Economist (Richard Koo) tahun 2010, bahwa kebijakan moneter longgar dan kebijakan ekspansi fiskal di Jepang tidak mampu merangsang penambahan investasi perusahaan dan belanja rumah tangga, karena mereka tetap fokus pada perbaikan neraca keuangan mereka sendiri. Sehingga pada 2015, BOJ, dipimpin sendiri oleh Governor Haruhiko Kuroda, melakukan eksperimen kebijakan moneter baru yang disebut sebagai quantitative and qualitative easing (QQE).

Advertisement

Seperti QE, QQE bertujuan utama menurunkan tingkat bunga jangka panjang di Jepang dengan cara melakukan pembelian obligasi pemerintah Jepang secara besar-besaran. Tujuan ikutannya adalah untuk mengubah ekonomi Jepang dari deflasi menjadi inflasi. Yaitu dengan cara menambah kebijakan baru tahun 2016, yang dikenal sebagai kebijakan negative interest rate agar ekspansi moneter tetap berlanjut.

Memang inflasi tahunan di Jepang tidak memenuhi target BOJ sebesar 2%, dan pertumbuhan ekonomi Jepang tetap rata-rata kurang dari 1% per tahun selama hampir tiga dekade. Tetapi BOJ berhasil menstranformasi neraca keuangan nasionalnya secara komprehensif yang berimplikasi signifikan terhadap sistem fiskal dan keuangan Jepang.

Dengan penduduk yang semakin menua, Jepang mempunya tingkat tabungan (savings rate) yang sangat tinggi untuk persiapan hidup pensiun. Ketika kebanyakan aset Dana Pensiun di Jepang diinvestasikan dalam obligasi pemerintah yang tingkat bunganya hampir 0%, deflasi merupakan risiko besar bagi sistem keuangan di Jepang. Padahal pada saat yang sama tatkala inflasi meningkat dan yield obligasi meningkat, Lembaga Dana Pensiun akan menghadapi kerugian yang sangat besar.

QQE telah mengubah segalanya di Jepang. Dengan membeli obligasi pemerintah dari Dana Pensiun, BOJ menginvestasikan dananya dengan membeli obligasi pemerintah AS (US Treasuries) yang berjangka panjang dan sekuritas negara-negara maju yang berkualitas tinggi dan memberikan imbal hasil lebih besar dibandingkan dengan Jepang yang tingkat bunganya mendekati 0%.

Sehingga QQE mampu mereduksi risiko keuangan di Jepang, sambil tetap mempertahankan tingkat bunga sangat rendah yang baik untuk perusahaan, dan menjamin tersedianya likuiditas domestik yang mencukupi untuk menopang sistem keuangannya. Di samping itu, tetap menjaga nilai tukar yen yang rendah guna mempertahankan daya saing ekspor produk-produk Jepang. Tujuan akhirnya tercapai, yaitu neraca keuangan nasional Jepang berhasil ditransformasikan baik dalam jangka waktu maupun alokasi asetnya (in terms of duration and asset allocation).

Juga sebagai akibat dari kebijakan QQE, posisi net investasi Jepang meningkat dari US$ 800 miliar (16,3% dari PDB) pada 1999 menjadi US$ 3,6 triliun (75,8% PDB) pada 2021, yang menjadikan Jepang sebagai net investor terbesar di pasar keuangan internasional. Begitu pula dengan neraca keuangan BOJ mengalami peningkatan, melebihi 134% dari PDB pada Juni 2022, dibandingkan hanya 66% untuk European Central Bank, 35% untuk the Fed AS, dan 33% untuk the People’s Bank of China.

Biaya dan manfaat QE menjadi perdebatan sengit baik di tataran akademik dan pengambil kebijakan ekonomi moneter global. Ekonom konvensional ternganga menyaksikan QE secara massif tanpa memicu inflasi yang berarti. Walaupun neraca keuangan ke-empat bank sentral terbesar dunia: the BOJ, the ECB, the Fed, dan the PBOC, melambung dari US$ 5 triliun (8% dari PDB dunia) pada 2006 menjadi US$ 31 triliun (32% PDB Dunia) pada 2021, inflasi di negara-negara maju tetap rendah sampai dengan akhir tahun 2021.

Suara para ekonom konvensional global baru terdengar nyaring tatkala menyaksikan kenaikan inflasi yang spektakuler pada tahun 2022, walaupun pemicu utama kenaikan inflasi tinggi tersebut adalah perang di Ukraina.

QE ternyata dapat menjadi kebijakan yang banyak memberi kemanfaatan, di antaranya menjaga stabilitas sistem keuangan (yang berimplikasi pada nilai tukar dan kondisi fiskal). Seperti yang terjadi dengan kebijakan The Bank of England yang melakukan kebijakan QE temporer pada Oktober 2022 guna meredam kekacaun di pasar keuangan Inggris dan menghindari krisis di Inggris yang semakin meluas.

Memang, QE juga berimplikasi signifikan terhadap fiskal. Tingkat bunga yang lebih rendah berarti biaya untuk bayar utang juga lebih rendah. Akan tetapi, ketika tingkat bunga meningkat, Kementrian Keuangan harus membayar utang yang lebih tinggi dan harus mengisi celah fiskal-quasi (quasi-fiscal hole) yang diakibatkan oleh kerugian neraca bank sentral, karena obligasi yang dibeli pada tingkat bunga yang lebih rendah akan jatuh harganya pada imbal hasil yang lebih tinggi. Sehingga Kementerian Keuangan Inggris dipaksa harus melakukan reimburse kepada the BOE sebesar £11 miliar (US$ 13 miliar) akibat kerugian yang diderita BOE dalam operasi penyelamatan krisis Inggris, Oktober 2022 (BOE gilt operation).

Berdasarkan teori, tidak masalah dengan meningkatnya pasiva asalkan imbal hasil dari aktiva lebih tinggi dari biaya dana. Akan tetapi memakai QE untuk membiayai fiscal deficits yang dipakai untuk belanja jangka pendek, bukan untuk digunakan untuk investasi jangka panjang, dapat berakibat pada menurunnya produktivitas mendatang. Sehingga ekses likuiditas akan menggelembungkan harga aset yang akan semakin memperburuk kesenjangan pendapatan.

Pada saat negara-negara maju saat ini sedang mengarah pada pembalikan kebijakan quantitative easing (QE) dengan melakukan kenaikan tingkat suku bunga kebijakan, Tiongkok justru bergerak ke arah yang berlawanan, yaitu sedang melakukan kebijakan pengendoran moneter. Suatu eksperimen kebijakan yang tak biasa dan bernyali.

Dalam kondisi sekarang ini, di mana kondisi inflasi relatif sangat tinggi, sebagian besar bank sentral utama dunia hanya mempunyai sedikit pilihan kebijakan, yaitu melakukan kebijakan moneter yang super ketat. Tetapi kondisi ekonomi Tiongkok memang berbeda. Utang Pemerintah Tiongkok hanya 3,8% dari neraca The People's Bank of China (PBOC). Sebagai perbandingan, utang pemerintah AS mencapai 55% dari neraca keuangan the Fed dan pemerintah Jepang utangnya 80% dari neraca BOJ.

Dengan ekonomi Tiongkok yang masih mengalami current-account surplus dan net-investment surplus lebih dari US$ 2 triliun (10% PDB), Tiongkok mempunyai ruang kebijakan yang luas untuk melakukan ekspansi moneter untuk menopang stabilitas keuangan dan meningkatkan reformasi strukturalnya. Sehingga PBOC berani mengumumkan pemangkasan giro wajib minimum (GWM) sebesar 25 basis-point. Suatu langkah kebijakan yang bertujuan memompa likuiditas di pasar uang agar pertumbuhan ekonominya lebih kuat.

Beberapa ekonom tradisional tercengang melihat langkah tersebut. Karena menurut mereka bank sentral tidak seharusnya melakukan kebijakan alokasi aset, kecuali melalui saluran tingkat suku bunga (interest-rate channel). Namun, QE telah terbukti sebagai instrumen alokasi sumber daya yang ampuh dalam menstransformasi neraca nasional. Suatu program QE yang terencana dengan baik serta inovatif –sebutlah sebagai QE karakteristik Tiongkok– akan dapat membantu upaya negeri Tirai Bambu itu mengatasi masalah ekonomi yang sedang dihadapinya.

Mencermati perkembangan kebijakan moneter internasional di atas, negara-negara emerging economies yang lain perlu belajar tentang kebijakan ekonomi, terutama kebijakan moneter sampai ke negeri Tiongkok. Sudah saatnya sekarang kiblat kebijakan ekonomi yang berorientasi ke Barat dosisnya diturunkan, karena kalau tidak maka arah kebijakannya akan selalu mengekor bank sentral AS, the Fed, sehingga strategi kebijakannya mudah dibaca pasar.

Bahkan pemutus kebijakan moneter tertinggi sudah saatnya diisi oleh alumni dari ‘Timur’, baik lulusan Jepang, Korea Selatan, maupun dari Tiongkok. Komposisi dewan perumus kebijakan moneter pun seharusnya seimbang antara mereka yang berasal dari internal dan dari eksternal. Sehingga harmoni kebijakannya tidak selalu bernuansa lagu Kemesraan-nya Iwan Fals, tetapi pada saat saat tertentu nuansanya akan muncul the script dengan judul lagunya, Hall of fame.

*) Mantan Ekonom Senior BI

Editor: Totok Subagyo (totok_hs@investor.co.id)

Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS

BAGIKAN

Berita Terkait


Berita Terkini


Market 5 menit yang lalu

Minyak Terpangkas 1% Tertekan Keputusan AS Soal Cadangan Strategis

Harga minyak terpangkas 1% pada Kamis (23/3/2023). tertekan pernyataan Menteri Energi AS bahwa pengisian ulang SPR memakan waktu lama
Market 23 menit yang lalu

Pandemi Covid-19 Berlalu, Adi Sarana Siapkan Capex Jumbo 

PT Adi Sarana Armada Tbk (ASSA) menyiapkan capex jumbo, Rp 1,5 triliun, tahun ini untuk menambah jumlah armada.
Market 39 menit yang lalu

MNC Sekuritas: IHSG Uji Rentang Ini, Intip Saham-Saham Calon Cuan di Hari Kejepit

MNC Sekuritas memprediksi IHSG hari ini uji rentang 6.693-6.731. Intip saham-saham calon cuan di hari kejepit ini. Salah satunya BBKP.
Business 53 menit yang lalu

Pengembang Perkuat Properti Komersial

Para pengembang memperkuat properti komersial di area proyek yang dikembangkannya. Kehadiran properti komersial selain menggairahkan kawasan
Market 1 jam yang lalu

Harga CPO Rontok Dua Hari Berturut-turut

Harga kontrak CPO di Bursa Malaysia Derivatives kembali melemah pada perdagangan Kamis, sehingga rontok dua hari berturut-turut. 
Copyright © 2023 Investor.id