Jumat, 24 Maret 2023

Platformisasi Ekonomi Perkotaan

Arlyana Abubakar *)
12 Mar 2023 | 10:00 WIB
BAGIKAN
Arlyana Abubakar, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta.
Arlyana Abubakar, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta.

Dalam tujuh tahun terakhir dalam ranah model bisnis muncul pendatang baru, yakni model bisnis platform. Model bisnis ini muncul menyusul sukses sistem operasi IOS yang dibangun oleh Apple dan Android yang dipopulerkan oleh Google. Dua sistem operasi telepon cerdas ini membuka cara pandang baru, bahwa model bisnis yang multiarah terbukti memiliki banyak sekali keunggulan dibanding model bisnis yang linier.

Di masa lalu model bisnis memang linier, seperti pipa, dari hulu ke hilir. Ada input, proses, output. Ada produsen, pasar, dan konsumen. Tetapi kedua raksasa digital di atas membuktikan bahwa alur bisnis bisa multiarah. Pada tahap pertama, Android bisa menghubungkan pabrikan smartphone dengan pengguna.

Pada tahap kedua, Android memungkinkan munculnya berbagai aplikasi. Ada banyak aplikasi yang berbayar sehingga mendatangkan keuntungan langsung pada pembangun aplikasi, ada juga aplikasi tidak berbayar antara lain karena berfungsi memfasilitasi model bisnis yang lain. Misalnya saja aplikasi marketplace.

Demikianlah Android --juga IOS, Apple, Windows-- menjadi sebuah platform yang memfasilitasi terjadinya begitu banyak lalulintas bisnis. Maka yang sebaliknya pun terjadi. Raja-raja telepon seluler yang mempertahankan model bisnisnya yang linier semacam Blackberry, Nokia, Erickson langsung berguguran. Sementara yang bermigrasi ke sistem Android bisa bertahan (Chaudari, 2016).

Advertisement

Model bisnis platform kemudian berkembang dalam berbagai bentuknya. Gojek, misalnya, adalah sebuah platform yang mempertemukan bukan hanya pengojek dengan penumpangnya, tetapi penyedia barang dan jasa yang lebih luas dengan konsumen. Tokopedia masuk dalam bisnis yang sama. Pada tahap pertama dia memfasilitasi perjumpaan penjual berbagai produk dengan konsumen, tetapi kemudian juga melibatkan sektor perbankan, transportasi, logistik, asuransi, dan tentu masih terbuka pada aneka kemungkinan lain.

Sama seperti Android dan IOS, marketplace digital telah mengancam banyak model bisnis tradisional. Mal dan supermarket mulai kehilangan pengunjung, bahkan ada supermarket yang tutup.

Kota Sebagai Platform

Konsep platformisasi bisa menjadi jawaban atas pertanyaan ke mana pembangunan kota, terutama pembangunan ekonominya. Pertanyaan ini mendesak dijawab di tengah digitalisasi yang merambah segala bidang dan mendisrupsi begitu banyak bidang bisnis, termasuk penyangga ekonomi kota seperti mal, supermarket, transportasi dan banyak lagi yang lain.

Banyak kota mencanangkan konsep smart city. Apa konsep yang harus ada di belakang smart city?

Sebuah kota pada dasarnya adalah sebuah platform, yakni tempat yang memfasilitasi berkumpulnya begitu banyak pihak, dengan berbagai kepentingan, yang saling berinteraksi secara transaksional. Yang membedakan satu dengan yang lain adalah, bahwa ada kota yang berfungsi sebagai platform yang bersifat alamiah, dan ini yang terjadi pada umumnya, serta kota yang memang dirancang atau dioptimasi sebagai platform.

Sudah waktunya bagi para pengelola perkotaan dan seluruh pemangku kepentingannya untuk mempertimbangkan konsep platformisasi arah pengembangan kota ke depan.

Singapura adalah contoh kota yang mentransformasi diri dari kota sebagai platform alamiah menjadi kota yang mengoptimasi fungsi platform tersebut. Awalnya Singapura adalah “pasar tradisional”, yang berkembang menjadi pasar regional, dan kemudian dioptimasi sebagai platform global. Singapura mengalami dua tahap platformisasi.

Yang pertama dilakukan oleh PM Lee Kuan Yew, yang dengan keras membangun diri menjadi negara kota yang membuat para pelaku bisnis global merasa harus “lewat Singapura”, baik untuk lalu lintas barang, orang, maupun bisnis. Dengan itu Singapura mengambil manfaat dari kapal atau pesawat yang “mampir”, barang atau orang yang transit, bahkan pebisnis global yang punya bisnis di Asia, khususnya Asia Tenggara, yang menempatkan Singapura sebagai pintu masuk.

Yang kedua adalah platformisasi dengan memanfaatkan teknologi digital, sama seperti yang dilakukan oleh kota-kota besar dunia seperti Kopenhagen, Berlin, London, atau Barcelona. Kota-kota besar ini menyadari pentingnya mengintegrasikan sekaligus mengoptimalkan keberadaan dan fungsi empat kelas aset: manusia, data, infrastruktur, dan teknologi. Keempat aset dan konvergensi satu dengan yang lain menyadarkan mereka bahwa kota bukanlah sekadar tempat, melainkan sebuah ekosistem, sebuah platform (Boler, 2016).

Kesadaran bahwa kota bukan semata soal wilayah geografis memberikan inspirasi berharga bagi pengelolaan ekonomi perkotaan (urban economy) di Indonesia. Apalagi kita berhadapan dengan peluang yang setara bahkan di tingkat global, yakni ketersediaan infrastruktur dan teknologi, khususnya digital, terutama dengan pencanangan dan pembangunan banyak kota sebagai smart city.

The Real Smart City

Karena itu kota sebagai platform bisa menjadi salah satu pilihan konsep atau pendekatan bagi pembangunan smart city; pendekatan yang mengoptimasi fungsi kota sebagai fasilitator perjumpaan aneka kepentingan. Bahkan jika smart city hanya dimaknai sebagai pembangunan infrastruktur digital, maka city as a platform adalah langkah berikutnya.

Atau sebaliknya, smart city dalam konteks seperti itu adalah prakondisi yang penting untuk menerapkan konsep kota sebagai platform. Konsep itu akan lebih mudah dan efektif dijalankan jika infrastruktur digital sudah dibangun kokoh, seperti jaringan internet yang andal, sistem sensor digital yang meluas, penyebaran kamera, dan sebagainya.

Namun digitalisasi bukanlah satu-satunya prasyarat bagi pembangunan kota sebagai platform. Alstyne (2016) mengatakan ada tiga hal yang perlu dipikirkan untuk menerapkan konsep itu. Yang pertama, konsentrasi pembangunan kota mesti bergeser dari manajemen sumber daya menjadi orkestrasi sumber daya. Model berpikir linier atau searah seperti produsen–konsumen, penyedia jasa–pelanggan, pemerintah–masyarakat dan sejenisnya mesti ditinggalkan, digantikan dengan pertanyaan siapa saja bisa berperan apa saja bagi kepentingan siapa saja yang bisa difasilitasi oleh platform yang baru.

Kedua, kota tradisional mengandalkan sumber daya internal sebagai “mesin pemroses” input sehingga bisa memberi nilai tambah pada output. Kota sebagai platform lebih berfokus pada agregasi sumber daya eksternal, dengan mengoptimasi interaksi antarpihak tersebut.

Proses penambahan atau penciptaan nilai (value addition dan value creation) tidak dilakukan di dalam, melainkan di luar “mesin”. Smart city belum bersifat platform jika tujuannya “hanya” memaksimalkan layanan publik. Dia menjadi platform jika begitu banyak pihak dalam platform bisa berinteraksi dan bisa menciptakan value baru dari interaksi itu.

Singkatnya, di tempat itu publik tidak hanya bisa mengakses layanan pemerintah, tetapi bisa saling berinteraksi dalam konteks sosial, ekonomi, dan bisnis.

Ketiga, kota tradisional berfokus pada “pelanggan” secara linier, sedangkan kota platform berfokus pada interaksi ekosistem yang membentuk siklus berkelanjutan. Kekuatan platform, terutama yang berbasis digital, terletak pada kemampuannya menangkap data sebagai feedback dari para pihak dalam ekosistem, dan data interaksi dalam ekosistem. Data tersebut adalah sumber daya baru yang sangat berharga sebagai dasar perbaikan, yang kembali akan mendatangkan feedback dan perbaikan, terus menjadi proses yang berkelanjutan.

Memang benar bahwa konsep kota platform tidak harus dengan konsep digitalisasi, sehingga tetap bisa dipakai sebagai konsep pengembangan kota yang memiliki sumber daya terbatas. Tetapi “cara berpikir digital” tetap diperlukan, yakni melakukan proses pengembangan berkelanjutan berbasis data dan responx balik dari keseluruhan ekosistem.

Maka, sudah waktunya bagi para pengelola perkotaan dan seluruh pemangku kepentingannya untuk mempertimbangkan konsep platformisasi arah pengembangan kota ke depan. Bagi pelaku ekonomi akan lebih baik jika platform ekonomi dibangun oleh dan menjadi aset sektor publik, karena tidak terbebani oleh target laba. Dengan demikian para pihak yang terlibat dalam ekosistem akan pada posisi awal yang lebih ringan sekaligus setara, tanpa beban awal untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan yang disediakan oleh platform.

*) Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta.

Editor: Totok Subagyo (totok_hs@investor.co.id)

Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS

BAGIKAN

Berita Terkait


Berita Terkini


Market 20 menit yang lalu

Minyak Terpangkas 1% Tertekan Keputusan AS Soal Cadangan Strategis

Harga minyak terpangkas 1% pada Kamis (23/3/2023). tertekan pernyataan Menteri Energi AS bahwa pengisian ulang SPR memakan waktu lama
Market 38 menit yang lalu

Pandemi Covid-19 Berlalu, Adi Sarana Siapkan Capex Jumbo 

PT Adi Sarana Armada Tbk (ASSA) menyiapkan capex jumbo, Rp 1,5 triliun, tahun ini untuk menambah jumlah armada.
Market 54 menit yang lalu

MNC Sekuritas: IHSG Uji Rentang Ini, Intip Saham-Saham Calon Cuan di Hari Kejepit

MNC Sekuritas memprediksi IHSG hari ini uji rentang 6.693-6.731. Intip saham-saham calon cuan di hari kejepit ini. Salah satunya BBKP.
Business 1 jam yang lalu

Pengembang Perkuat Properti Komersial

Para pengembang memperkuat properti komersial di area proyek yang dikembangkannya. Kehadiran properti komersial selain menggairahkan kawasan
Market 1 jam yang lalu

Harga CPO Rontok Dua Hari Berturut-turut

Harga kontrak CPO di Bursa Malaysia Derivatives kembali melemah pada perdagangan Kamis, sehingga rontok dua hari berturut-turut. 
Copyright © 2023 Investor.id