Arah Kebijakan Suku Bunga Acuan 2023

Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) perdana 2023 kembali memutuskan menaikkan suku bunga acuan, BI 7-day Reverse Repo rate (BI7DRR), sebesar 25 basis poin. Rally kenaikan BI7DRR sejak Agustus tahun lalu menempatkan BI7DRR nangkring di level 5,75%.
Kenaikan bertubi-tubi –dengan akumulasi 225 basis poin– menjadi pertanyaan besar bagi semua pemangku kepentingan. Kebijakan menaikkan BI7DRR sebagai langkah antisipasi terhadap ketidakpastian global diklaim masuk akal. Paradigma kebijakan front loading, pre emptive, dan ahead the curve menjadi penjelasannya.
Argumen kebijakan BI7DRR diarahkan untuk menjangkar inflasi juga bisa diterima. Laju inflasi 2022, misalnya, memang turun lebih cepat dari perkiraan. Inflasi inti yang dalam prediksi BI naik menjadi 4,61%, akan tetapi realisasinya 3,36% pada akhir 2022. Artinya, kenaikan BI7DRR bekerja sesuai skenario awal.
Tren yang sama bisa tersimak dari faktor eksternal. Nilai tukar rupiah menguat pada awal tahun seiring meredanya ketidakpastian di pasar keuangan global. Kondisi ini juga mendorong aliran modal asing masuk ke pasar keuangan domestik, sehingga memperkuat stabilitas perekonomian dalam negeri.
BI mencatat nilai tukar rupiah pada awal tahun 2023 hingga hari-H RDG menguat 3,18% (year to date/ytd) dan apresiasi 1,20% secara rerata dibandingkan dengan level Desember 2022. Bahkan, penguatan rupiah relatif lebih baik, dibandingkan dengan apresiasi mata uang sejumlah negara sepantaran (peer).
Sementara itu, neraca transaksi modal dan finansial diperkirakan mencatat surplus didukung oleh aliran masuk modal asing dalam bentuk penanaman modal asing langsung dan investasi portofolio. Tidak ketinggalan neraca dagang juga surplus besar sejalan dengan prospek ekonomi nasional yang semakin baik.
Imbal Korban
Bahwa BI mengirim sinyal tidak ada lagi penaikan suku bunga acuan dalam jangka pendek cukup menyejukkan. Kenaikan BI7DRR yang sudah dilakukan sejauh ini dinilai telah memadai. Asalkan tidak ada peristiwa luar biasa atau extraordinary ke depan, kenaikan suku bunga acuan boleh dibilang bakalan nihil.
Sinyal di atas agaknya terkait pada Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang telah disahkan DPR dan pemerintah. Mengikuti UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang P2SK, mandat BI diperluas alih-alih tujuan tunggal, yakni stabilisasi nilai rupiah, yang diukur dengan inflasi dan nilai tukar terhadap valuta asing.
Merunut pada Bagian Kelima Pasal 7 UU P2SK, perluasan mandat diberikan kepada BI dengan sasaran mencapai stabilitas nilai rupiah, memelihara stabilitas sistem pembayaran, dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Menjaga stabilitas sistem pembayaran dan sistem keuangan selama ini sejatinya sudah dilaksanakan BI. Lewat kebijakan makroprudensial, BI mengelola kiprah industri jasa keuangan dalam memitigasi siklus bisnis (business cycle). Artinya, mandat yang tersurat dalam UU P2SK secara yuridis menguatkan peran BI.
Mandat BI untuk ikut mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tampaknya hal ‘baru’. Mandat tersebut, lagi-lagi, secara tidak langsung juga sudah dilaksanakan. Keterlibatan aktif BI dalam pembinaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan keuangan syariah seakan menjadi bukti yang sahih.
Pada titik ini, BI harus mengakomodasi variabel pertumbuhan ekonomi di samping stabilisasi nilai mata uang. BI juga harus mengompromikan faktor internal dan eksternal. Dinamika siklus bisnis juga harus dipertimbangkan BI dalam meracik kebijakan moneternya. Kesemuanya ini bukan tidak mungkin terjadi bersamaan.
Simultannya semua faktor di atas membuat kebijakan moneter BI senantiasa terkendala oleh kaidah imbal korban (trade-off). Pencapaian satu tujuan yang diturunkan dari satu kebijakan tertentu sangat boleh jadi berlawanan dengan realisasi tujuan yang lain yang hendak digapai lewat kebijakan lainnya.
Dengan kendala fundamental di atas, maksimalisasi semua tujuan adalah mustahil bisa diraih. Opsi yang tersedia hanya optimalisasi. Seberapa besar tujuan satu bisa diwujudkan sedemikian rupa sehingga tujuan lain tidak terlalu terkorbankan. Dengan kata lain, dengan tujuan tertentu didapatkan prioritas tujuan lain.
Eksistensi imbal korban dalam setiap kebijakan secara konseptual agaknya terjustifikasi. Dalam kebijakan moneter, misalnya, dikenal trilemma impossibility, bahwa tidak mungkin suatu negara mengharapkan nilai tukar yang stabil jika pada saat yang bersamaan lalu lintas modal diberi kebebasan.
Demikian pula, nilai tukar yang stabil pada sistem lalu lintas modal yang bebas membuat kebijakan moneter tidak lagi independen. Artinya, trilemma impossibility memungkinkan hanya dua dari tiga tujuan yang bisa dicapai, sementara satu tujuan lainnya niscaya harus ‘mengalah’.
Proposisi teoretis di atas agaknya mendekati kenyataan. Arus masuk modal dan finansial ke pasar keuangan dalam negeri mampu membuat nilai tukar rupiah menguat. Sebaliknya, pada kuartal ketiga 2022 arus keluar modal dan finansial dari pasar keuangan domestik membuat nilai tukar rupiah tertekan.
Untuk menjaga daya saing pasar keuangan domestik, BI bisa saja terus menaikkan suku bunga acuannya. Kenaikan suku bunga acuan mendorong imbal hasil yang atraktif sehingga mengundang arus masuk modal dan finansial. Konsekuensinya, pasokan valuta asing terdongkrak dan nilai tukar rupiah terangkat.
Namun di sisi lain, kenaikan suku bunga acuan akan membawa dampak kurang menguntungkan pada sektor riil. Biaya dana ikut terkerek yang memaksa produsen menunda ekspansi bahkan mengurangi aktivitas bisnisnya. Output aktual lebih rendah dari output potensial yang semestinya bisa diproduksi.
Kesenjangan yang melebar antara output aktual dan output potensial merupakan salah satu parameter perlambatan ekonomi. Jelasnya, kenaikan suku bunga acuan bisa berakibat pada perlambatan ekonomi dalam negeri. Sementara itu, sektor riil sejatinya sedang berupaya bangkit dari paparan pandemi Covid-19.
Belum lagi dampak dari resesi ekonomi global. Perekonomian global sejatinya menghadapi pokok persoalan yang sama. Indonesia, sebagai negara kecil dengan sistem perekonomian yang terbuka, niscaya akan menghadapi sumber resesi ganda, dari imbas dalam negeri dan sekaligus dari luar negeri.
Kalaupun potensi resesi bisa dihalau, persoalan tidak berhenti sampai di situ. Pertumbuhan ekonomi yang diakselerasi dari kenaikan permintaan agregat akan membawa efek pada kenaikan harga yang dikenal luas sebagai inflasi. Artinya, pertumbuhan dan inflasi seakan dua sisi mata uang yang selalu muncul bergantian.
Tantangan resesi global perlu disikapi secara proporsional tanpa meninggalkan kewaspadaan.
Kondisional
Alhasil, siklus bisnis yang sedang merangkak naik semestinya dikondisikan agar terus menggeliat. Dikembalikan kepada sinyal BI untuk tidak menaikkan suku bunga acuan dalam waktu dekat, agaknya bisa menjadi titik tonggak. Momentum sinyal di awal tahun diproyeksikan mampu memantik January effect.
Frasa ‘tidak ada peristiwa luar biasa ke depan’ juga perlu dicatat betul. Kenihilan kenaikan suku bunga acuan harus dipahami sebagai kebijakan kondisional. Untuk itu, persyaratan ‘tidak ada peristiwa luar biasa ke depan’ harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum beranjak pada pembicaraan efektivitas.
Langkah paling dini adalah mengelola ekspektasi inflasi. Kalau publik berekspektasi esok harga akan naik, mereka akan bergegas memborong barang/jasa kebutuhannya di luar kewajaran. Artinya, tanpa ada gejala awal yang meyakinkan, inflasi bisa tiba-tiba meledak sehingga menyulitkan strategi penanggulangannya.
Sebagai komplemennya adalah membangun keyakinan (confidence) pengusaha agar mereka tetap meningkatkan investasinya. Prospek ekonomi domestik tetap menghadirkan peluang tersendiri. Tantangan resesi global perlu disikapi secara proporsional tanpa meninggalkan kewaspadaan.
Pada ranah akar rumput, greget pelaku UMKM juga harus dibangkitkan kembali untuk terus mengembangkan usahanya. Pemenuhan kebutuhan konsumen diarahkan pada barang/jasa domestik, alih-alih produk impor. Konsumsi produk dalam negeri pun diubah dari barang/jasa konvensional menuju komoditas ramah lingkungan.
Peran pemerintah diharapkan menjadi kunci pembuka. Percepatan serapan anggaran belanja untuk infrastruktur dan proyek prioritas niscaya memberikan stimulus ekstra bagi aktivitas ekonomi. Dengan skenario di atas, sinyal BI akan menyeimbangkan antara keyakinan produsen dan optimisme konsumen.
Pada akhirnya, arah kebijakan suku bunga acuan 2023 tergantung pada koordinasi. Sinkronisasi intra-kebijakan di dalam ranah BI sendiri harus klir sebelum berkoordinasi antar-kebijakan dengan otoritas makroekonomi yang lain. Jika demikian, era endemi akan membawa babak anyar bagi perekonomian nasional. Bukan begitu BI?
*) Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta, Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara ISEI Pusat.
Editor: Totok Subagyo (totok_hs@investor.co.id)
Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS
Berita Terkait
Berita Terkini
Pandemi Covid-19 Berlalu, Adi Sarana Siapkan Capex Jumbo
PT Adi Sarana Armada Tbk (ASSA) menyiapkan capex jumbo, Rp 1,5 triliun, tahun ini untuk menambah jumlah armada.MNC Sekuritas: IHSG Uji Rentang Ini, Intip Saham-Saham Calon Cuan di Hari Kejepit
MNC Sekuritas memprediksi IHSG hari ini uji rentang 6.693-6.731. Intip saham-saham calon cuan di hari kejepit ini. Salah satunya BBKP.Pengembang Perkuat Properti Komersial
Para pengembang memperkuat properti komersial di area proyek yang dikembangkannya. Kehadiran properti komersial selain menggairahkan kawasanHarga CPO Rontok Dua Hari Berturut-turut
Harga kontrak CPO di Bursa Malaysia Derivatives kembali melemah pada perdagangan Kamis, sehingga rontok dua hari berturut-turut.Laba Perbankan Nasional Tembus Rp 200 Triliun
Industri perbankan sepanjang 2022 berhasil mencatatkan kinerja positif, di mana laba bersih perbankan nasional tembus Rp 200 triliun,Tag Terpopuler
Terpopuler
