Minggu, 28 Mei 2023

Sinyal Kuat Pemulihan Ekonomi Global

Ryan Kiryanto *)
13 Mar 2023 | 12:23 WIB
BAGIKAN
Ryan Kiryanto, Ekonom dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/LPPI).
Ryan Kiryanto, Ekonom dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/LPPI).

Perkembangan terkini terkait optimisme akselerasi pemulihan ekonomi global semakin menguat dan nyata. Sejumlah negara maju yang pada awalnya diperkirakan memasuki zona resesi, ternyata justru menunjukkan sinyal kuat untuk pemulihan yang berkelanjutan. Kalau ada satu-dua negara mengalami resesi, mungkin hanya resesi ringan (mild recession) atau pelemahan ekonomi.

Sebenarnya sinyal cerah itu sudah diekspos oleh Dana Moneter Internasional (IMF) lewat rilis terbarunya, World Economic Outlook (WEO) edisi Januari 2023 (31/1). Dalam laporan itu, IMF merevisi ke atas perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini menjadi 2,9%, lebih tinggi 0,2 poin dari perkiraan Oktober 2022.

Harapan positif datang dari pembukaan kembali ekonomi Tiongkok. Namun pertumbuhan global yang diproyeksikan untuk 2023 dan 2024 tetap berada di bawah rata-rata tahunan historis 2000-2019 yang sebesar 3,8%. Bagaimana pun, proyeksi IMF terkini itu memberikan penguatan optimisme terhadap membaiknya perekonomian global.

Salah satu perekonomian negara maju yang disorot adalah Amerika Serikat (AS). Pengetatan kebijakan moneter oleh The Fed terbukti mampu melandaikan inflasi secara cukup meyakinkan, sehingga memunculkan ekspektasi baru bahwa dari semester pertama hingga akhir 2023 ini The Fed hanya akan menahan (baca: pause atau berhenti sebentar) laju suku bunga acuan tanpa harus ada dorongan untuk menaikkan sekian basis poin lagi.

Advertisement

Setelahnya akan ada spirit The Fed untuk melandaikan suku bunga acuan kembali ke “arah normal” berkisar 2%-3% di awal 2024 nanti. Di sinilah roda perekonomian AS dipacu lebih cepat untuk kembali ke masa sebelum pandemi Covid-19.

Data hingga Februari lalu menunjukkan aktivitas manufaktur mengalami kontraksi tipis, sementara sektor jasa terus berkembang dengan solid menurut rilis Institute of Supply Management (ISM) Non-Manufacturing Index. Ini adalah indeks ekonomi berdasarkan survei terhadap lebih dari 400 eksekutif pembelian dan pasokan perusahaan non-manufaktur atau jasa.

Pada Februari lalu indeks sektor jasa di AS berada di 55,1 atau sedikit berubah dari 55,2 pada Januari dan di atas ekspektasi 54,5. Peningkatan yang lebih cepat terlihat untuk pesanan baru (62,6 atau tertinggi sejak November 2021 berbanding 60,4 pada Januari), pesanan ekspor baru (61,7 berbanding 59), dan lapangan kerja (54 atau tertinggi sejak Desember 2021 berbanding 50).

Selain itu, tekanan harga mereda (65,6 berbanding 67,8) dan pengiriman pemasok turun (47,6 atau kinerja pengiriman tercepat sejak Juni 2009 berbanding 50). Sementara itu, persediaan naik (50,6 berbanding 49,2) dan produksi melambat (56,3 berbanding 60,4).

Sebagian besar para produsen jasa yang disurvai menunjukkan sikap positif tentang kondisi bisnis. Pemasok terus meningkatkan kapasitas dan logistik mereka, sebagaimana dibuktikan dengan pengiriman yang lebih cepat. Gambaran ketenagakerjaan telah membaik untuk beberapa industri, meskipun pasar tenaga kerja ketat. Beberapa industri melaporkan perampingan yang terus berlanjut dalam rangka efisiensi.

Nonfarm payrolls meningkat 517 ribu dan penjualan ritel membukukan kenaikan bulanan terbesar sejak Maret 2021. Rilis hasil Survei Lowongan Kerja dan Perputaran Tenaga Kerja (JOLTS) untuk Januari diperkirakan menggembirakan. Terbukti, lowongan pekerjaan tetap kuat, naik menjadi di atas 11 juta. Sebagai pembanding, terdapat 7 juta lowongan pekerjaan pada Februari 2020 sebelum pandemi. Meskipun demikian, 11 juta lowongan pekerjaan yang tersedia tersebut lebih rendah dibandingkan puncaknya sebanyak 12 juta pada Maret 2022.

Menariknya, sebagian karyawan merasa yakin tentang prospek pekerjaannya sehingga secara sukarela bersedia meninggalkan pekerjaan lama untuk beralih ke pekerjaan baru. Alhasil, tingkat pengangguran turun signifikan menjadi 3,4% dan mencapai level terendah dalam 53 tahun.

Perusahaan penyedia jasa juga terus mempekerjakan secara luas, ditandai kabar baik di mana pelaku industri melaporkan peningkatan pekerjaan pada Februari lalu. Saat data ketenagakerjaan nonpertanian dirilis, diperkirakan para pengusaha akan menambahkan sebanyak 270 ribu pekerjaan baru selama bulan tersebut.

Hanya saja, ketahanan aktivitas sektor jasa dapat meningkatkan tekanan pada pembuat kebijakan di Federal Reserve untuk berbuat lebih banyak memerangi inflasi. Inflasi jasa akan lebih lambat mereda sehingga ini menjadi “tambahan pekerjaan” bagi The Fed untuk melandaikan inflasi pada jalur yang berkelanjutan kembali ke level 2% melalui kebijakan suku bunga ketat.

Ekonomi Tiongkok sebagai Referensi

Pembukaan kembali Tiongkok dan prospek ekonomi yang membaik di Korea Selatan dapat menggeser pusat gravitasi di pasar negara berkembang Asia ke utara, sedikit menjauh dari India dan negara-negara Asean. Inilah laporan terkini yang dirilis oleh Goldman Sachs Research.

Yang menarik untuk Tiongkok, purchasing manager index (PMI) layanan umum naik ke 55,0 pada Februari 2023 dari sebelumnya 52,9 pada Januari 2023. Ini menandakan laju ekspansi aktivitas tercepat sejak Agustus tahun lalu. Bisnis baru naik paling tinggi sejak April 2021, dan pertumbuhan ekspor baru mencapai level tertinggi hampir empat tahun, karena pelonggaran pembatasan Covid-19 membantu mengangkat jumlah konsumen dan permintaan.

Selain itu, tingkat pekerjaan meningkat untuk pertama kalinya dalam empat bulan terakhir, dengan penciptaan lapangan kerja yang paling meningkat sejak November 2020 disertai akumulasi timbunan pekerjaan pada tingkat paling lemah sejak Oktober lalu. Di sisi harga, baik biaya input maupun harga yang dikenakan tumbuh moderat. Akhirnya, sentimen bisnis tetap tinggi, meskipun tingkat optimisme belum beranjak naik signifikan.

Prospek pemulihan ekonomi Tiongkok yang lebih cepat dari perkiraan sebelumnya dibayang-bayangi oleh risiko geopolitik terkait relasinya dengan AS. Rupanya pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan prospek hubungan dengan AS masih membebani pikiran para investor. Meskipun mereka dan pemimpin bisnis optimistis terhadap pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun ini, tetapi mereka masih memiliki kekhawatiran tentang ketegangan geopolitik antara Tiongkok dan AS.

Dalam perhelatan Konferensi Makro Global Asia Pasifik di Hong Kong belum lama ini, para investor dan pemimpin bisnis yang dipilih sebagai responden diminta berbagi pemikiran tentang risiko terbesar terhadap pertumbuhan global pada 2023. Hasilnya mencengangkan, sebanyak 44% responden mengatakan ketegangan antara AS dan Tiongkok adalah risiko yang menyebabkan mereka paling mengkhawatirkan ekonomi dunia tahun ini.

Kekhawatiran berikutnya adalah kenaikan inflasi sebanyak 26%, risiko geopolitik lainnya 15%, dan resesi yang disebabkan oleh kebijakan 13%. Tetapi pada saat yang sama, sebagian besar memperkirakan ekspansi PDB Tiongkok akan melonjak ketika ekonomi dibuka kembali. Itulah mengapa perkiraan pertumbuhan ekonomi Tiongkok telah dinaikkan menyusul data sentimen kuat pada Februari.

Para analis dan ekonom memperkirakan PDB Tiongkok akan tumbuh 5,5% pada 2023, atau naik dari perkiraan sebelumnya sebesar 5,2%. Ekonomi Tiongkok telah mengalami rebound setelah berakhirnya kebijakan nol Covid-19 sehingga meningkatkan optimisme bahwa ekonomi global dapat melewati resesi tahun ini.

Prospek Ekonomi di Luar Tiongkok

Salah satu negara industri di Asia, yakni Korea Selatan, terindikasi memiliki prospek yang cerah hingga 2024, di mana investor akan mengantisipasi pemulihan ekonomi negara itu mulai tahun ini. Prospek jangka pendek yang belum kuat diperkirakan membaik pada paruh kedua 2023. Para ekonom dan analis meyakini kemajuan ekonomi Negeri Ginseng ini memiliki peluang terbesar di semester kedua setelah masa konsolidasi hampir tiga tahun sejak pandemi melanda negara itu.

Di Taiwan, negara produsen dan eksportir microchip terbesar di dunia, setelah berhati-hati pada akhir 2022 karena penurunan perangkat keras teknologi dan masalah geopolitik, kini para analis dan ekonom telah meningkatkan outlook-nya terhadap negara ini. Fundamental ekonominya tampak stabil atau membaik, dengan valuasi telah diatur ulang serta indikator risiko geopolitik telah dimoderasi.

Untuk India, kisah pertumbuhan ekonomi negara ini tetap kuat, dengan PDB diperkirakan tumbuh moderat dari hampir 7% pada 2022 menjadi 6% pada 2023 ini. Dengan terkendalinya pandemi Covid-19 yang lebih cepat dibandingkan negara-negara lain di Asia, perekonomian India memang melaju lebih cepat dan solid.

Di Asean, perekonomian Vietnam diperkirakan melonjak dengan laju pencapaian PDB sebesar 7,2% pada 2023 dan 6,7% pada 2024, menyusul pemulihan pertumbuhan mengesankan sebesar 8,02% pada 2022. Vietnam memiliki potensi berkembang kuat pada jangka menengah, ditopang oleh omzet penjualan ritel yang mengalami pertumbuhan baik pada separuh akhir tahun 2022 yang menunjukkan membaiknya kegiatan ekonominya.

Di samping itu, arus modal investasi asing langsung (FDI) terus meningkat, meskipun prospeknya akan bergantung pada perekonomian global. Perkiraan inflasi rata-rata sebesar 5,5% pada 2023 dan 2024 (berbanding 3,2% pada 2022) mungkin akan menjadi ancaman bagi pemulihan ekonomi berkelanjutan Vietnam.

Negara Asean lainnya, yakni Filipina, juga menunjukkan pemulihan ekonomi yang baik. Sebelum 2022 berakhir, memang pandemi Covid-19 memukul keras ekonomi Filipina. Negara ini jatuh ke dalam jurang resesi pada 2020 (awal pandemi Covid-19), di mana PDB terkontraksi 9,6%. Hal ini sangat kontras dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat di tahun-tahun sebelumnya.

Apa penyebab kejatuhan ekonomi negara Filipina saat pandemi dan mampu bangkit sekarang. Bagaimana prospek ekonomi Indonesia? (Bersambung ke tulisan bagian II). *

*) Ekonom dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/LPPI).

Editor: Totok Subagyo (totok_hs@investor.co.id)

Dapatkan info hot pilihan seputar ekonomi, keuangan, dan pasar modal dengan bergabung di channel Telegram "Official Investor.ID". Lebih praktis, cepat, dan interaktif. Caranya klik link https://t.me/+ijaEXDjGdL1lZTE1, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS

BAGIKAN

Berita Terkini


Business 31 detik yang lalu

Antisipasi Kejahatan Siber, Warga Sikka Ikut Pelatihan Perlindungan Data Pribadi 

Skor indeks keamanan siber Indonesia naik dari 38,96 poin di tahun 2022, menjadi 63,64 pada April 2023.
Market 36 menit yang lalu

Ini Fokus Hibank Besutan BNI

PT Bank Mayora sebagai anak usaha PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) telah resmi berubah nama menjadi PT Bank Hibank Indonesia.
Business 37 menit yang lalu

Teken MoU, RI dan Raksasa Mobil Listrik BYD Jajaki Kerja Sama Investasi  

Indonesia ingin mengembangkan ekosistem kendaraan listrik sehingga dapat menjadi pasar otomotif terbesar di Asia Tenggara,
Market 2 jam yang lalu

Nasabah Prioritas Berpotensi Meningkat, Mandiri Sekuritas Luncurkan MOST Priority

Mandiri Sekuritas meluncurkan MOST Priority. Hal ini seiring pertumbuhan investor pasar modal terus meningkat. 
International 3 jam yang lalu

Biden dan McCarthy Berbicara Soal Kesepakatan Plafon Utang AS

Presiden AS Joe Biden dan anggota kongres Kevin McCarthy melakukan pembicaraan melalui telepon soal kesepakatan plafon utang

Tag Terpopuler


Copyright © 2023 Investor.id