Sabtu, 1 April 2023

Urgensi Percepatan Pengembangan Pasar Karbon

Lona Olavia
18 Okt 2022 | 17:11 WIB
BAGIKAN
Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam Economy Outlook 2022  yang digelar Beritasatu Media Holding (BSMH), Senin (22/11/2021). Foto: Investor Daily/David Gita Rosa
Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam Economy Outlook 2022 yang digelar Beritasatu Media Holding (BSMH), Senin (22/11/2021). Foto: Investor Daily/David Gita Rosa

JAKARTA, investor.id - Indonesia tengah melakukan inisiasi pembentukan pasar karbon dalam RUU PPSK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan) yang sejalan dengan upaya mencapai target pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Potensi pasar karbon di Indonesia pun terbilang cukup besar, dengan adanya pasar karbon dan perdagangan karbon di Indonesia OJK meramal potensi USD 565 miliar atau Rp8.475 triliun. Potensi ini didukung oleh posisi Indonesia berada di peringkat ke 3 dunia dengan luasan hutan tropis sebesar 125 juta hektar atau sekitar 65% dari luas daratan yang ada dan diperkirakan dapat menyerap karbon sebesar 25 miliar ton karbon.

“Selain potensi pasar karbon yang cukup besar secara ekonomi, Indonesia juga memiliki target pengurangan emisi karbon. Sebaiknya dalam RUU PPSK perlu segera mengatur secara spesifik aturan main dalam pasar karbon. Beberapa aturan yang perlu di atur adalah mekanisme pasar karbon sebagai komoditas atau bauran komoditas dengan efek. Apabila OJK ingin mengatur pasar karbon, bentuknya adalah bauran pasar komoditas dengan efek dalam rangka mempermudah perusahaan mencari pembiayaan ketika memiliki sertifikat karbon,” kata Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira dalam keterangan resmi, Selasa (18/10/2022).

Dalam beberapa kasus di negara lain memang pasar karbon lebih diatur sebagai komoditas ketimbang efek. Sebagai contoh European Union Emissions Trading System (EU ETS) merupakan pasar karbon pertama dan terbesar dunia yang telah menerapkan cap-and-trade system dengan basis pasar komoditas sejak tahun 2005. Namun, selain menempatkan kredit karbon sebagai komoditas, beberapa studi turut mempertimbangkan penggunaan kredit karbon sebagai efek atau sekuritas. Seperti banyak jenis aset, pemilik kredit karbon dapat menggunakan kredit karbon sebagai jaminan untuk mendapatkan pembiayaan.

Dalam Pasal 24 RUU PPSK disebutkan bahwa perdagangan karbon harus dilakukan dengan mekanisme pasar karbon melalui bursa karbon atau dengan perdagangan langsung. Adapun bursa karbon dimaksud merupakan sistem yang mengatur mengenai pencatatan cadangan karbon, perdagangan karbon, dan status kepemilikan unit karbon. Kemudian dalam Pasal 26 dipertegas pengaturan akan berada dibawah OJK.

Bhima menambahkan, jika kredit karbon akan ditempatkan sebagai komoditas, mengikuti benchmark negara-negara lain, maka pemerintah dapat segera melaksanakan perdagangan karbon melalui ekosistem perdagangan komoditas (bursa, kliring, dan kustodian) yang sudah tersedia di bawah pengawasan Bappebti.

“Tapi tetap terbuka peluang koordinasi antara Bappebti dan OJK dalam mengkombinasikan alternatif pasar karbon sebagai komoditas dan efek. Sistem campuran yang inovatif sebenarnya sah-sah saja asalkan pembagian tugasnya cukup jelas,” pungkasnya.

Besarnya potensi pasar karbon membutuhkan berbagai infrastruktur penunjang termasuk keandalan sistem, pengawasan, hingga pengaduan sehingga pasar karbon dapat meningkatkan peran serta dari seluruh pelaku yang ingin terlibat dalam mendorong percepatan penurunan emisi karbon.

“Selain itu dalam rangka mewujudkan infrastruktur pasar karbon yang ideal, disarankan kepada Pemerintah untuk memprioritaskan bursa komoditi yang sudah ada dengan berbagai alasan termasuk kapabilitas infrastruktur, serta level pengawasan yang memadai dibandingkan membuka peluang terhadap kemunculan SRO (Self-Regulatory Organizations) baru yang belum teruji efektivitas sistem nya. Peningkatan volume perdagangan pasar karbon pada bursa komoditi yang telah ada dapat membantu dampak positif yang lebih besar terhadap seluruh ekosistem perekonomian nasional,” imbuh Bhima.

Selama RUU PPSK masih dalam proses pembahasan, beberapa pasal yang langsung berkaitan dengan pasar karbon perlu dibahas secara mendalam, dengan melibatkan para ahli dan benchmarking dari negara yang telah sukses menerapkan pasar karbon. Di sisi lain masalah koordinasi antar regulator menjadi kunci keberhasilan menjalankan pasar karbon.

Potensi pasar karbon yang cukup besar, namun belum tersedianya infrastruktur pasar karbon di dalam negeri, menimbulkan risiko perebutan pasar karbon di negara lainnya.

“Selama ini faktanya beberapa perusahaan di Indonesia sudah melakukan perdagangan karbon di bursa luar negeri. Sangat disayangkan, kalau potensi pasar karbon akhirnya lari keluar. Waktu untuk persiapan pasar karbon tidak banyak, maka diperlukan penguatan sinergi antar otoritas terkait untuk menyiapkan regulasi, mekanisme, hingga infrastruktur perdagangan yang dapat mendukung kondusifitas pasar karbon di Indonesia,” tutup Bhima.

Editor: Lona Olavia (olavia.lona@gmail.com)

Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS

BAGIKAN

Berita Terkait


Berita Terkini


National 27 menit yang lalu

Kabar Gembira, UI Umumkan 410 Camaba Lewat Jalur Talent Scouting

Sebelumnya, sebanyak 2.049 orang calon mahasiswa baru lolos penerimaan masuk melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP)
Business 51 menit yang lalu

Lion Air Pangkas Kuota Gratis Bagasi Tercatat di Rute 8 Bandara

Lion Air mengumumkan kebijakan terbaru mengenai bagasi gratis alias cuma-cuma kategori bagasi tercatat.
Macroeconomy 58 menit yang lalu

Ekonomi ASEAN-5 Kolektif Diproyeksi Tumbuh 4,6% di 2023

Pertumbuhan antara lain didukung konsumsi, perdagangan, dan investasi yang kuat, serta perdagangan terbuka dan investasi ke negara lain.
Macroeconomy 1 jam yang lalu

Kementerian Investasi Ungkap Empat Tantangan Implementasi Hilirisasi, Apa Saja?

Pembiayaan dalam negeri untuk kegiatan-kegiatan hilirisasi sampai saat ini masih sangat sedikit.
Business 2 jam yang lalu

Cerita di Balik Kedatangan Pesawat Raksasa Antonov ke Bandara Kertajati, Ternyata Ada Ini

Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat sempat kedatangan pesawat kargo terbesar di dunia, Antonov 124-100.
Copyright © 2023 Investor.id