CEO Indika Energy Azis Armand: Biaya Energi Matahari Makin Murah
18 Des 2022 | 17:49 WIB

NEW DELHI, investor.id – Penggunaan energi solar panel sudah menjadi keniscayaan bagi Indonesia, negara yang sudah menyatakan komitmen untuk mewujudkan net zero emission pada tahun 2060. Selain sebagai negeri tropis dengan panas matahari sepanjang tahun, kemajuan teknologi membuat biaya solar panel atau energi matahari kian murah.
Peralihan energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) menempatkan energi matahari sebagai alternatif paling mungkin direalisasikan di Indonesia. Namun, masalah pendanaan menjadi tantangan paling berat dalam pengembangan solar panel di Indonesia.
Baca Juga:
Bos Indika (INDY): 2022, Luar Biasa!Perbankan nasional umumnya belum tertarik membiayai solar panel, sebuah bisnis yang membutuhkan pendanaan jangka panjang, di atas sepuluh tahun. Para bankir nasional masih melihat solar panel sebagai bisnis yang belum menguntungkan karena biaya produksi yang mahal. Padahal, pembiayaan EBT sudah menjadi komitmen finansial dunia.
“Kami menilai, kemajuan teknologi solar panel sudah membuat bisnis ini semakin masuk akal, masuk hitungan ekonomi, dan membuat pengembangan salah satu energi terbarukan ini menjadi bisnis yang sustainable,” kata Azis Armand, Wakil Presdir PT Indika Energy Tbk dan CEO Indika Group, kepada sejumlah pemimpin media Indonesia saat meninjau solar panel di rooftop Universitas Jawaharlal Nehru di New Delhi, India, Rabu (14/12/2022).

India merupakan salah satu negara terdepan dalam pengembangan energi matahari. Saat ini, berdasarkan data Central Electricity Authority of India, kontribusi solar panel sudah sekitar 7%, sedangkan pembangkit EBT sudah mencapai 165,94 GW atau 40,6% dari total kapasitas daya terpasang.
Kondisi India, kata Azis, mirip Indonesia. Jika hari cerah nyaris sepanjang tahun, Indonesia disinari mentari, terutama di wilayah Indonesia bagian timur. Sedangkan di India, matahari bersinar sekitar 300 hari setahun. Baru dikembangkan tahun 2010, energi surya di India mencatat pertumbuhan yang cepat.
Selain panas matahari yang cukup, kebijakan pemerintah India sangat mendukung. Dalam prediksi International Energy Agency (IEA), energi tenaga surya di India akan bertumbuh lebih cepat pada masa akan datang, antara lain, karena harga energi tenaga surya akan lebih murah dibanding batu bara pada tahun 2030, termasuk biaya penyimpanan baterai.
India merupakan produsen dan konsumen listrik terbesar ketiga di dunia, dengan kapasitas daya terpasang sebesar 408,71 GW pada 31 Oktober 2022. Pada periode yang sama, kontribusi pembangkit tenaga surya diperkirakan sebesar 61,62 GW, diikuti tenaga angin sebesar 41,84 GW, biomassa sebesar 10,70 GW, dan tenaga air 51,77 GW.
Sebagai bandingan, kapasitas daya terpasang listrik PLN pada akhir 2021 sebesar 73,74 GW. Beda tipis dengan pembangkit listrik tenaga surya India yang sebesar 61,62 GW. Sedangkan kontribusi pembangkit listrik EBT baru 8,6 GW atau 12% pada September 2022. Pada tahun 2025 atau dua tahun ke depan, pangsa EBT ditargetkan mencapai 23%. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, potensi energi surya di Indonesia sekitar 112.000 GWp. Namun, yang dimanfaatkan baru sekitar 10 MWp.
“Kunjungan ini bermaksud untuk melihat langsung berbagai alternatif aplikasi solar panel yang ada di India,” tambah Aziz. Di salah satu atap gedung Universitas Nehru yang kami kunjungi terdapat solar panel 80 kilowatt (kw). Di seluruh atap gedung perguruan tinggi terkemuka di India itu terpasang 500 kw.
Banyak opsi dan ukuran dalam mengembangkan solar panel. Ada ukuran besar, menengah, dan kecil hingga cukup di atas atap gedung dan rumah. Ada solar panel di atas lahan luas (ground mounted). Ada energi solar panel yang bisa langsung digunakan, ada yang perlu ditampung di battery, dan ada yang perlu dikombinasikan dengan energi lain. “Ini semua kita pelajari,” jejak Azis.
Pendanaan
Mewujudkan komitmen untuk menurunkan emisi karbon, Indika Energy mengoperasikan perusahaan penyedia tenaga surya terintegrasi dengan nama Empat Mitra Indika Tenaga Surya (EMITS) sejak 2021. Bermitra dengan Fourth Partner Energy (FPE), perusahaan energi asal India, Indika menargetkan pembangunan energi tenaga surya 500 MW selama lima tahun hingga 2025. Investasi yang dibutuhkan untuk merealisasikan target ini sekitar US$ 400 juta.
Hingga saat ini, EMITS sudah membelanjakan US$ 15 juta untuk membangun sekitar 50 MW tenaga surya di sejumlah wilayah. Dana investasi bukan hanya modal sendiri, tapi juga pinjaman. ”Dukungan dari lembaga keuangan dalam negeri sangat penting untuk mewujudkan energi bersih dan ekonomi hijau,” ujar Azis. Indika menguasai 51% saham RMITS, sisanya 49% milik FPE.
Adapun biaya investasi per MW sekitar US$ 700-800. Untuk mencapai target 500 MW, dana yang dibutuhkan sekitar US$ 400 juta. Pendanaan solar panel, kata Presdir EMITS Yovie Priadi, menjadi tantangan para pelaku bisnis solar panel karena perbankan di dalam negeri umumnya belum berminat.
Namun, pekan lalu, EMITS mendapatkan pendanaan dari sebuah institusi finansial dari Swiss, Respons Ability Investment, sebesar US$ 12 juta. “Jangka waktu pinjaman 15 tahun dengan bunga 7,5%-8%,” kata Yovie kepada Investor Daily, Kamis (15/12/2022). Skema pendanaan ini khusus untuk mendukung renewable energy.
Pinjaman ini digunakan untuk refinancing proyek yang sedang berjalan, yakni solar panel di rooftop Gedung Indi-Bintaro 313 kwp, perusahaan tekstil Kahatex 1,8 MWp, Interport di Kaltim 140 kwp, dan Sampurna Kayu 15-20 MWp.
Skema pendanaan EMITS mengikuti Four Partner Energy (FPE), mitra Indika Energy dari India. Perusahaan energi India ini sudah membangun hampir 1 Giga solar panel di India.
Pada tahun 2023, EMITS berencana membangun solar panel wood pelet Grup Indika untuk menjadi biomassa, solar panel Living World di Bali, solar panel Semen Indonesia Group, solar panel Pupuk Indonesia Group, dan sejumlah BUMD di Indonesia timur, antara lain, BUMD Bali dan NTB.

Ke depan, EMITS akan terus mencari pinjaman dari perbankan, dalam dan luar negeri. “Ini jenis pendanaan pertama di Indonesia. Pendanaannya per proyek dan ini cukup unik,” kata Yovie. Skema pendanaan ini khusus untuk mendukung renewable energy.
Hingga saat ini, bank dalam negeri yang membiayai solar panel baru PT Bank Mandiri Tbk. Bisnis energi matahari, yang membutuhkan pendanaan jangka panjang, dinilai belum layak untuk dibiayai dengan pinjaman bank. “Ini beda dengan perbankan luar negeri,” kata Yovie.
Di Indonesia, kata Yovie, Standard Chartered Bank ikut membiayai solar panel EMITS. Dengan skema project financing, perbankan lokal mestinya bisa terlibat. Paling tidak, mengikuti konsorsium.
Semakin Murah
Kemajuan teknologi telah menurunkan biaya produksi solar panel hingga level yang kompetitif dengan jenis energi lainnya. “Kami sudah bisa kasih tarif kepada PLN dengan harga di bawah US$ 6 sen pe kWh, sekitar US$ 5,8- US$ 5,9 sen per kWh. Sedangkan harga yang diberikan pembangkit batu bara masih di atas US$ 6,1 sen per kWh,” jelas Yovie.
Harga listrik dari pembangkit diesel di atas US$ 30 sen per kWh. “Ini menunjukkan beta kompetitifnya energi matahari. Cuma, tantangannya, solar panel hanya berfungsi siang hari, sekitar 6 jam sehari, mulai pukul 09.00-15.00,” paper Yovie.
Namun, kata Yovie, solusinya sudah ada, yakni hybrid power. Solar panel dikombinasikan dengan battery untuk menyimpan energi. Energi solar panel juga bisa dikombinasikan dengan pembangkit diesel hingga harga battery mencapai level kompetitif. “Kami yakin, 10 tahun ke depan, ekosistem energi surya sudah lebih bagus. Teknologi akan membuat harga solar panel lebih murah lagi,” jelas Yovie.
Tantangan lain pengembangan listrik tenaga surya di Indonesia adalah peran swasta yang masih terbatas. Tidak seperti di India yang sudah memperkenalkan kebijakan “open access”. Lewat kebijakan ini, swasta bisa membangun pembangkit listrik sekaligus membangun jaringan transmisi dan distribusi hingga konsumen. Di Indonesia, kewenangan transmisi dan distribusi hanya ada pada PLN.
Pada masa lalu, ada kebijakan “power wheeling”, semalam “open access”. Produsen listrik bisa membangun jaringan transmisi dan distribusi di wilayah yang belum dimasuki PLN. Kebijakan power wheeling yang diatur UU No 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Namun, kemudian klausul ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam RUU EBT, Independent Power Producers (IPP) EBT bisa langsung membangun jaringan transmisi dan distribusi untuk menjual langsung produk listrik pada PLN.
Mitra India
Fourth Partner Energy (FPE) merupakan penyedia solusi energi tenaga surya terdepan di India yang berfokus pada sektor komersial dan industrial. FPE memiliki portofolio PLTS dengan total kapasitas terpasang sebesar 550 MW di 24 negara bagian India.
Salah satu proyek terbesar FPE adalah taman panel surya berkapasitas 100 MW di Uttar Pradesh, yang nantinya akan memasok energi untuk salah satu perusahaan semen terbesar di India.
Mayoritas saham FPE dimiliki oleh The Rise Fund, social impact fund terbesar di dunia dengan total dana kelolaan sebesar US$ 5 miliar. The Rise Fund didirikan oleh TPG Global, bekerja sama dengan berbagai tokoh ternama dunia, seperti Bono (vokalis grup band U2 asal Irlandia), Ratu Rania dari Yordania, dan Jeff Skoll (presiden pertama eBay).
The Rise Fund memfokuskan investasinya pada perusahaan yang memiliki dampak positif dan terukur terhadap aspek sosial dan lingkungan, serta mampu menghasilkan imbal hasil kompetitif secara finansial.
Selain CEO Indika Group Azis Armand dan Presdir EMITS Yovie Priadi, hadir juga dalam kunjungan ke India adalah CFO Indika Energy Retina Rosabai, Director and Group Chief Investment Officer of Indika Energy Purbaja Pantja, dan Head of Corporate Communications Indika Energy Ricky Fernando.
Editor: Jauhari Mahardhika (jauhari@investor.co.id)
Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS
Berita Terkait
Berita Terkini
Terungkap! Rencana di Balik IPO Merdeka Battery (MBMA)
Merdeka Battery (MBMA) akan memiliki dukungan lebih kuat melalui penawaran umum perdana (initial public offering/IPO)Top! Baru Masuk Bursa, Laba Pertamina Gethermal (PGEO) Melesat 50%
Laba bersih PGEO melesat hingga 50% sepanjang 2022, meski perseroan baru listing perdana di BEI tahun iniAmar Bank (AMAR) Resmi Terapkan Sistem Pembayaran BI-FAST
PT Bank Amar Indonesia Tbk (AMAR) resmi bergabung menjadi peserta sistem pembayaran BI-Fast Batch 6PNM Boyong Penghargaan Digital Teknologi dan Inovasi
PT Permodalan Nasional Madani (PNM) memboyong penghargaan digital teknologi dan inovasiIndonesia Batal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20, Begini Respons PDIP
PDIP menyayangkan keputusan FIFA membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah piala duni u20. Begini penjelasan HastoTag Terpopuler
Terpopuler
