Solusi Melunasi Utang Negara dan Swasta

Membangun perekonomian Negara sebesar Indonesia butuh strategi dan kesungguhan yang kuat. Kini, di usia 74 tahun, Indonesia sadar betul bahwa peran ekonomi global cukup signifikan untuk membuat roda perekonomian dalam negeri bergulir. Tentu, tanpa mengesampingkan kekuatan ekonomi domestik.
Sejak zaman Orde Lama, terlebih memasuki Orde Baru, bahkan hingga tahun 2019 ini, Indonesia butuh bantuan luar negeri untuk mempercepat pembangunan di segala lini. Bantuan luar negeri tak semata berupa sumbangan, namun juga berupa utang yang harus dibayar kepada sang pemberi pinjaman (kreditur).
Sejarah juga mencatat bahwa hubungan Indonesia dengan para kreditur mengalami pasang surut. Saat Orde Baru, Presiden Soeharto membubarkan forum kreditur yang dinamakan Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang dimotori oleh Belanda pada 25 Maret 1992. Lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Januari 2007 membubarkan forum Consultative Group for Indonesia (CGI) yang telah berusia 15 tahun.
Dalam perjalanannya jumlah utang luar negeri (ULN) Indonesia terus membubung. Merujuk data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, volume X, Juni 2019 yang diterbitkan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, terlihat bahwa per akhir April 2019 ULN Indonesia tercatat sebesar US$ 389,3 miliar. Dengan asumsi kurs Rp 14.000 per dolar AS, jumlah utang itu sekitar Rp 5.450 triliun.
Jumlah ULN per akhir April 2019 terdiri atas utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 189,7 miliar, serta utang swasta (termasuk badan usaha milik negara/BUMN) sebesar US$ 199,6 miliar. Utang luar negeri Indonesia tersebut tumbuh 8,7% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada Maret 2019 sebesar 7,9% (yoy) karena transaksi penarikan neto ULN dan pengaruh penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sehingga utang dalam rupiah tercatat lebih tinggi dalam denominasi dolar AS.
Peningkatan pertumbuhan ULN terutama bersumber dari ULN sektor swasta, di tengah perlambatan pertumbuhan ULN pemerintah. Posisi ULN pemerintah pada April 2019 tercatat sebesar US$ 186,7 miliar atau tumbuh 3,4% (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 3,6% (yoy).
Sementara itu, pertumbuhan ULN swasta meningkat. Posisi ULN swasta pada akhir April 2019 tumbuh 14,5% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 13,0% (yoy). ULN swasta didominasi oleh sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor industri pengolahan, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara (LGA), serta sector pertambangan dan penggalian dengan total pangsa 75,2% terhadap total ULN swasta.
Pemerintah mengaku bahwa struktur ULN Indonesia tetap sehat. Kondisi tersebut tercermin antara lain dari rasio ULN Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) pada akhir April 2019 sebesar 36,5%, relatif stabil dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya.
Selain itu, struktur ULN Indonesia tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang yang memiliki pangsa 86,2% dari total ULN. Dengan perkembangan tersebut, meskipun ULN Indonesia mengalami peningkatan, namun masih terkendali dengan struktur yang tetap sehat.
Pemanfaatan Pasar Modal
Dua sumber utama pemerintah untuk membayar utang berasal dari pendapatan pajak dan hasil ekspor. Karena itu, upaya menggenjot ekspor yang menghasilkan devisa serta menggenjot pemasukan dari pajak terus dilakukan oleh pemerintah.
Sedangkan kalangan swasta tentu saja berjuang ekstra keras membayar utang luar negeri dengan cara meningkatkan kinerja mereka.
Di sisi lain, dalam rentang waktu 2009 hingga 2018, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperlihatkan bahwa jumlah perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) menggeliat dari 398 perusahaan pada 2009 menjadi 619 perusahaan.
Dari sisi perusahaan yang mencatatkan diri (listing) ke pasar modal, dalam rentang waktu yang sama jumlahnya juga terus meningkat. Bila pada 2009 yang listing sebanyak 12 perusahaan, pada 2018 terdapat sebanyak 57 perusahaan. Jumlah perusahaan yang mencatatkan diri di bursa pada 2018 menjadi rekor tertinggi dalam rentang 10 tahun terakhir, bahkan mungkin menjadi jumlah terbanyak sepanjang 25 tahun usia bursa di Indonesia.
Pada saat yang sama, jumlah kapitalisasi pasar di BEI melonjak dari Rp 2.019,38 triliun pada 2009 menjadi Rp 7.023,50 triliun pada 2018. Dari sisi transaksi harian pun terlihat amat dinamis dengan tren terus meningkat. Tahun 2000, nilai transaksi harian baru tercatat sekitar Rp 4 triliun. Namun, tahun 2018, melonjak menjadi sekitar Rp 8,5 triliun. Bahkan, pada minggu ke-5 Januari 2019, jumlah transaksi harian di pasar modal sempat menyentuh Rp 10,7 triliun.
Dalam hemat penulis, pasar modal dapat disinergikan untuk meringankan beban utang luar negeri pemerintah dan swasta. Solusi melunasi utang negara dan swasta dengan menggunakan struktur pasar modal bisa mempersingkat waktu penyelesaian utang. Bahkan, ke depan bisa menjadi pemberi utang kepada pemerintah atau swasta.
Kekuatan pasar modal kita tak bisa mengabaikan kontribusi badan usaha milik negara (BUMN) yang sudah bercokol sejak lama. Sebut saja misalnya, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Bank Mandiri (Perseo) Tbk., PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Keempatnya pada 2017 masuk dalam 10 emiten dengan kapitalisasi terbesar dengan torehan Rp 1.443 triliun per 29 Desember 2017. Kapitalisasi emiten BUMN terus merangkak naik dari tahun ke tahun, jika pada 2014 sebesar Rp 1.339 triliun, melonjak menjadi Rp 1.839 triliun per 29 Desember 2017.
Bila BUMN yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia melakukan aksi korporasi dalam penerbitan saham baru Rights Issue atau Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) dengan leverage 10X dan rasio 1 : 99, maka puluhan, bahkan ratusan triliun lembar saham dapat dicetak dari proses ini.
Dengan asumsi masing-masing BUMN yang listing di Bursa Efek Indonesia menerbitkan 250 triliun saham baru, maka dengan hanya empat perusahaan BUMN yang tercatat saja sudah bisa menerbitkan 1.000 triliun saham. Lalu, jika harga per lembar sahamnya naik menjadi dua kali lipat, maka dapat dipastikan mencetak 2.000 triliun. Hasil aksi korporasi yang menghasilkan 2.000 triliun saham baru tersebut dapat dicairkan dengan menjualnya ke pasar untuk diserap investor ritel maupun institusi, Negara dapat mengantongi minimal uang tunai Rp 2.000 triliun.
Struktur lainnya adalah saham baru hasil Rights Issue/HMETD tersebut dapat dijadikan sebagai Asset Back Securities dalam menerbitkan National Bond yang dapat dijual murah, misalnya Rp 50.000/ unit. Guna memuluskan strategi ini seluruh bank pemerintah dan swasta bisa menjadi agen penjualan ke investor ritel dan institusi. National Bond Negara yang diterbitkan memberikan tenor waktu tertentu, misal tiga atau lima tahun dengan pilihan saat maturity date si pembeli bond boleh memilih menebus bond tersebut kembali dengan uang tunai plus return yang telah dijanjikan di awal. Atau, dikonversi ke saham-saham BUMN yang tercatat di Bursa Efek Indonesia dengan capital gain atau dividen dari masing-masing saham tersebut.
National Bond di atas dapat dikategorikan sesuai dengan kebutuhan pemerintah. Misal, untuk infrastruktur pembangunan bandara, pelabuhan, dan jalan tol, pemerintah bisa menerbitkan National Infrastructure Development Bond. Contoh lainnya, National Tourism Development Bond, dan National Education Development Bond.
Jurus menyinergikan BUMN yang melantai di bursa dengan konsep di atas, maka tanpa disadari kita seperti telah membangun National Federal Reser ve yang nantinya memiliki cadangan uang banyak untuk membangun negara sekaligus melunasi utang–utang kita. Lewat konsep National Development Bond di atas seluruh warga negara dapat ikut berpartisipasi membangun negaranya. Termasuk melibatkan aparatur sipil negara (ASN), polisi, dan tentara nasional Indonesia (TNI). Misal, dengan memotong Rp 50.000 gaji ASN, anggota TNI, dan anggota Polri untuk membeli National Development Bond dan mendapatkan imbal hasil ke depannya dari negara, rasa-rasanya tidak ada abdi negara yang tidak mau membantu negaranya.
Sebagai ilustrasi, konsep ini pernah dilontarkan kepada Pak Maman, supir penulis. Dia bahkan berani membeli Rp 500.000. Penulis terkejut atas respons dia. Alasan Pak Maman, setiap bulan, untuk membeli rokok dan pulsa untuk telepon selulernya saja bisa lebih dari Rp 500.000 tanpa menghasilkan sesuatu yang signifikan, bahkan dapat menimbulkan penyakit akibat merokok. Dengan membeli National Bond, Pak Maman optimistis menghasilkan uang dalam lima tahun ke depan.
Di sisi lain, kita disodori fakta adanya “investasi bodong” yang digulirkan para oknum di tengah masyarakat kita. Nilainya bisa mencapai ratusan miliar rupiah, bahkan triliunan rupiah. Jika ada National Development Bond dengan pijakan proyek yang jelas dan penjaminnya adalah negara, dalam hemat penulis bisa mengalihkan minat investasi masyarakat, bahkan bisa mengalami kelebihan permintaan (over subscribes) hingga ratusan kali.
Dengan National Development Bond semua BUMN yang melantai di bursa dapat diberdayakan. Lalu, setiap tahunnya akan memiliki kesibukan untuk melakukan aksi korporasi Rights Issue/HMETD. Saham BUMN itu pasti memiliki likuiditas yang tinggi dalam perdagangan hariannya, tidak seperti saat ini di mana terdapat saham BUMN yang tertidur sehingga tidak pernah bisa mendongkrak indeks harga saham gabungan (IHSG) ke level di atas 10.000.
Penulis optimistis penerbitan National Development Bond akan diserap pasar. Venezuela saja yang hampir bangkrut begitu percaya diri dalam menerbitkan Venezuela Bond dan diserap pasar. Harusnya Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah, bisa membangun negeri dengan kekuatan diri sendiri, apalagi jumlah penduduk kita lebih besar, lebih dari 260 juta jiwa.
Semangat gotong royong dapat menjadi solusi membangun negara dengan mulai mengurangi utang dan memiliki alternatif sumber keuangan lainnya selain dari pajak serta ekspor dan impor.
Kita juga dapat belajar dari Hong Kong yang hanya berpijak pada parawisata, jasa, dan rumah judi bisa memiliki Indeks bursa di level 30.000. Saat ini, IHSG kita masih di bawah 10.000, salah satunya karena masih banyak saham tidur dan tidak maksimalnya fungsi pengelompokan dan ketentuan Index seperti contoh LQ45, Kompas 100, dan Kehati.
Mencuat pertanyaan, apa sih kualifikasi agar bisa masuk LQ45 dan kita amati setiap harinya saham LQ45 tidur nyenyak. Jika sekitar 600 perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia separuhnya blue chip dan mid cap sahamnya tidur, bagaimana IHSG bisa menyentuh 10.000.
Di sisi lain, jika otoritas bursa lebih banyak memberikan relaksasi ketimbang law enforcement bagi saham tidur, dapat dipastikan bursa kita jalan di tempat. Penulis melihat ada saham yang memiliki likuiditas tinggi dalam perdagangan hariannya, justru ditendang dari Index LQ45 hanya karena sentiment tertentu oknum bursa.
Sudah saatnya, mari berdayakan bursa kita untuk percepatan dalam melunasi utang negara dan swasta.
Vier Abdul Jamal, Senior Stock Trader & Block Investors, tinggal di Jakarta
Editor: Gora Kunjana (gora_kunjana@investor.co.id)
Dapatkan info hot pilihan seputar ekonomi, keuangan, dan pasar modal dengan bergabung di channel Telegram "Official Investor.ID". Lebih praktis, cepat, dan interaktif. Caranya klik link https://t.me/+ijaEXDjGdL1lZTE1, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS
Berita Terkait
Berita Terkini
Menparekraf Dorong Pelaku Ekraf Pesawaran Perkuat Kolaborasi
KaTa Kreatif diikuti oleh 200 pelaku ekraf Kabupaten Pesawaran.Fluktuasi Harga Minyak Tinggi, Saham-Saham Migas Ini Tetap Potensial Cuan
Fluktuasi harga minyak diprediksi masih tinggi hingga akhir 2023. Meski demikian, beberapa saham migas tetap berpotensi cetak cuan.Waspada, Seharian Berada Dalam Ruangan Juga Bisa Terpapar Partikel Beracun
Banyak bisnis seperti kafe dan studio kebugaran, dan banyak tempat kerja juga mulai memasang pembersih udara di tempat mereka.Saham Garuda (GIAA) Tiba-tiba Terbang 27,4%, Fasten Your Seatbelts!
Saham Garuda Indonesia (GIAA) tiba-tiba naik drastis 27,4% selama sepekan. Bahkan saham GIAA masuk top 10 gainers dalam periode tersebut.Manulife Indonesia Tetap Raih Kinerja Positif di 2022
Perusahaan asuransi Manulife Indonesia di tahun 2022 meraih kinerja positif walaupun berada di tengah kondisi ekonomi yang menantang.Tag Terpopuler
Terpopuler
