Selasa, 6 Juni 2023

Indonesia dan Agenda COP-26

Eko Sulistyo
2 Nov 2021 | 12:03 WIB
BAGIKAN
Eko Sulistyo, Komisaris PT PLN (Persero)
Eko Sulistyo, Komisaris PT PLN (Persero)

Kehadiran Presiden Joko Widodo di Glasgow, Scotlandia, untuk menghadiri COP-26 tentang Perubahan Iklim, selain memiliki arti strategis, juga ekspektasi terhadap peran Indonesia dalam pembahasan isu-isu global. Apalagi posisi Indonesia saat ini sebagai Presidensi G-20, yang merupakan kumpulan negara-negara berpendapatan tinggi di dunia. Indonesia diharapkan bisa menjadi pelopor dalam penerapan kebijakan pembangunan yang lebih hijau dan rendah emisi.

Tidak heran jika belakangan ini menuju COP-26, banyak pemimpin dunia, memuji dan mengapresiasi kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam bidang iklim dan lingkungan. Seperti disampaikan John Kerry, Utusan Khusus Presiden AS untuk isu perubahan iklim, yang menyatakan Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin pembangunan yang lebih hijau dan berperspektif iklim. Selain keberadaan hutannya, Indonesia juga memiliki potensi sumber energi terbarukan (EBT) terbesar di dunia, termasuk keberadaan nikel.

Sebelumnya, apresiasi yang sama pernah disampaikan Presiden COP-26, Alok Sharma. Saat berkunjung ke Jakarta, Juni lalu, Sharma menawarkan kepemimpinan (Co-Chair) COP-26 pada Presiden Joko Widodo, dan menyebut Indonesia sebagai negara super power di bidang penanggulangan iklim. Sharma terkesan dengan upaya dan kemajuan Indonesia di bidang iklim, khususnya dalam pengendalian laju deforestasi dan penanaman mangrove secara masif.

Target NDC

Advertisement

COP atau Conference of the Parties, merupakan Konferensi Para Pihak di bidang iklim di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Diikuti oleh negara-negara yang telah menandatangani Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Pertemuan sebelumnya adalah COP-21, yang diselenggarakan di Paris, Desember 2015, yang melahirkan Kesepakatan Paris atau Paris Agreement.

Indonesia telah memasukkan kesepakatan global tersebut dalam sistem hukum nasional melalui UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement. Sejak itu, Indonesia berkomitmen memberikan kontribusi terhadap lingkungan atau target NDC (Nationally Determined Contribution), yang menguraikan transisi Indonesia menuju masa depan rendah emisi dan berketahanan iklim. Kebijakan ini juga masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, melalui sektor energi, transportasi, kehutanan, industri dan pertanian.

Dalam target NDC Indonesia kedua yang telah direvisi (updated), penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) adalah tetap, seperti NDC pertama, yakni 29% pada 2030 atau 41% dengan dukungan internasional. Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, dalam siaran pers, 23 Maret 2021, dengan dukungan internasional, Indonesia memiliki skenario yang lebih ambisius melalui Low Carbon Compatible with Paris Agreement (LCCP).

Di sektor kehutanan dan penggunaan lahan, Indonesia diproyeksikan mendekati pada kondisi sebagai penyerap karbon netto pada 2030. Kemudian rencana pengurangan batu bara secara bertahap hingga 60% pada 2050, dan menuju nett zero emission pada 2070. Updated NDC ini untuk memperbarui informasi tentang Visi Pemerintah dan Pembangunan Jangka Panjang Nasional Indonesia serta menjabarkan dan merinci strategi implementasi tentang adaptasi dan peningkatan transparansi.

Selain itu, menambah subjek baru dan penguatan komitmen dengan memasukkan laut, lahan basah, termasuk mangrove dan lahan gambut, serta kawasan permukiman manusia dalam skenario adaptasi. Rehabilitasi dan penanaman mangrove seluas 600 ribu hektare selama 2021-2024. Di bidang energi, Indonesia berencana menerapkan teknologi Carbon Captured Storage/Carbon Capture Utilization Storage (CCS/CCUS), dan energi terbarukan dan bioenergi.

Dalam penerapan teknologi adaptasi iklim, sektor swasta atau bisnis akan memainkan peran penting dalam pencapaian skenario tersebut. Dalam Energy Technology Perspectives 2020, Badan Energi Internasional (IEA), telah memetakan peluang teknologi untuk mencapai tujuan iklim internasional dan energi berkelanjutan. Pemerintah dapat menangkap peluang ini dengan memberikan dukungan kebijakan kepada swasta, perguruan tinggi, dan lembaga riset, untuk pengembangan teknologi tersebut.

Transisi Energi

Aspirasi yang mengemuka menjelang COP-26 adalah bahwa setiap negara diharapkan menaikkan target NDC-nya. Berdasarkan perhitungan Climate Action Tracker (2021), target NDC saat ini belum cukup memadai untuk menahan kenaikan temperatur global, jauh dari target awal Kesepakatan Paris. Untuk mencapai itu, salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah melalui transisi energi dengan meningkatkan penggunaan energi dari EBT.

Di sektor kelistrikan, belum lama ini, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menerbitkan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2020-2030, yang menjadi pedoman rencana kelistrikan untuk Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dalam RUPTL ini, komposisi EBT untuk pembangkit diperkuat, menjadi 51,6%. Banyak kalangan yang menilai RUPTL kali ini lebih “hijau” untuk mencapai target bauran energi 23% di tahun 2025.

Guna menekan emisi karbon di Indonesia, pemerintah juga telah menetapkan pajak karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) senilai Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) dalam UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, berlaku mulai 1 April 2022. Dalam transisi energi di sektor kelistrikan, PLN telah menyusun peta jalan menuju netral karbon 2060, yang akan menghentikan PLTU pada 2056.

Saat ini adalah waktu yang tepat mempercepat transisi energi yang lebih bersih dan green. Percepatan ini adalah salah satu solusi penting mengatasi situasi kompleks hari ini. Penyiapan infrastruktur dan membangun kesadaran masyarakat, bisa dibangun paralel.

Namun dengan krisis energi dan listrik yang melanda beberapa negara dan kawasan, situasi anomali terjadi ketika harga batu bara tiba-tiba meroket tajam. Ketika harga batu bara menguat, artinya meningkatkan ekspor, bisa menjadi alarm bahaya bagi konservasi lingkungan terkait GRK. Ekspor batu bara terbesar adalah ke Tiongkok dan India, yang kini dilanda krisis listrik dan energi.

Sekitar 54% dari seluruh ekspor batu bara Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan PLTU di Tiongkok dan India. Tiongkok mengonsumsi separuh batu bara dunia, tapi saat ini berada di bawah tekanan internasional untuk mengurangi penggunaan batu bara dalam negeri. Situasi di Tiongkok hampir sama dengan Inggris, yang terpaksa mengoperasikan kembali PLTU batu bara, ketika kini dilanda krisis energi.

Dengan tantangan yang ada dan disrupsi di sektor energi, Indonesia dapat menggunakan momentum COP-26 sebagai kesempatan meneguhkan tekad, mematok target lebih ambisius dalam NDC. Indonesia cukup memiliki sumber daya dalam memacu pembangunan ekonomi hijau yang bebas emisi, serta potensi tak terbatas pengembangan EBT. Dalam Global Energy Review 2021, IEA mencatat, permintaan energi terbarukan akan terus tumbuh.

Saat ini adalah waktu yang tepat mempercepat transisi energi yang lebih bersih dan green. Percepatan ini adalah salah satu solusi penting mengatasi situasi kompleks hari ini. Penyiapan infrastruktur dan membangun kesadaran masyarakat, bisa dibangun paralel.

Dari segi geografis dan iklim, Indonesia sangat strategis untuk meraih banyak manfaat dari energi bersih, dan menjadi mercusuar energi terbarukan. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki potensi EBT tertinggi di planet ini, sehingga mampu menghasilkan energi berlipat ganda dari peak saat ini. Bila ditambah cadangan nikel, material utama baterai kendaraan listrik, potensi itu akan lebih besar lagi.

*) Komisaris PT PLN (Persero)

Editor: Totok Subagyo (totok_hs@investor.co.id)

Dapatkan info hot pilihan seputar ekonomi, keuangan, dan pasar modal dengan bergabung di channel Telegram "Official Investor.ID". Lebih praktis, cepat, dan interaktif. Caranya klik link https://t.me/+ijaEXDjGdL1lZTE1, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS

BAGIKAN

Berita Terkait


Berita Terkini


Macroeconomy 38 menit yang lalu

Masa Tugas Satgas BLBI Berpeluang Diperpanjang

Pemerintah menargetkan Satgas BLBI untuk mengumpulkan piutang obligor BLBI senilai Rp 110 triliun.
Market 54 menit yang lalu

Ternyata Ini yang Pukul Mundur Pergerakan Bitcoin

Harga aset kripto Bitcoin (BTC) dalam jangka pendek atau sepekan ini diprediksi menguji level terendah (support) US$ 25.000.
Business 1 jam yang lalu

RI-Korsel Sepakat Bangun Ekosistem ICT Dukung UKM Go Global

Potensi kerja sama bilateral yang bisa ditindaklanjuti antara Indonesia dan Korea, seperti Program Business Matching.
Macroeconomy 1 jam yang lalu

Tiga Pemda dan 14 K/L Terima Aset Properti Eks BLBI

Utilisasi atas aset properti berupa hibah dan PSP ini merupakan upaya pemerintah dalam melakukan monetisasi terhadap aset eks BLBI.
Business 2 jam yang lalu

Ringkas Raih Pendanaan Tahap Awal US$3,5 juta

Pendanaan ini akan membantu Ringkas memperluas jangkauan platformnya ke berbagai kota di Indonesia serta pasar sekunder.

Tag Terpopuler


Copyright © 2023 Investor.id