Rabu, 29 Maret 2023

Mempersoalkan Aturan Suspensi di Pasar Modal

Vier Abdul Jamal
23 Des 2019 | 11:27 WIB
BAGIKAN
 Vier Abdul Jamal bin Abdullah,  Foto: IST
Vier Abdul Jamal bin Abdullah, Foto: IST

Pasar modal masih menjadi incaran korporasi untuk merengkuh dana segar guna menggulirkan roda bisnis. Lihat saja bagaimana berduyunduyunnya perusahaan yang masuk ke Bursa Efek Indonesia pada 2018 dan terus bergulir pada 2019.

Bahkan, pada 2018, jumlah emiten anyar mencapai 57 perusahaan dan sekaligus menjadi rekor tertinggi sejak Bursa Efek Indonesia diprivatisasi pada 1992. Tahun 2019, hingga Rabu (18/12/2019), jumlah emiten baru mencapai 53 perusahaan.

Emiten anyar itu menggunakan skema penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) ketika melantai di bursa. Mereka berasal dari beragam latar belakang bidang usaha. Mulai dari eksportir, produsen makanan, distributor kendaraan hingga pelaku bisnis property dan perhotelan. Dari skala bisnis pun beragam, mulai dari usaha kecil, menengah hingga perusahaan besar dengan omzet triliunan rupiah.

Paling tidak ada dua hal mendasar yang membuat pasar modal diminati korporasi. Pertama, sebagai sumber dana segar di luar instrument perbankan maupun sumber pendanaan lainnya. Kedua, iklim pasar modal membuat penerapan tata kelola perusahaan (good corporate governance/GCG) menjadi kian baik sehingga korporasi menjadi merasa lebih kompetitif.

Tentu saja di luar kedua hal itu ada sejumlah alasan lain kenapa perusahaan tertutup akhirnya menjadi perusahaan terbuka dengan memperdagangkan sahamnya di pasar modal.

Sepanjang tahun 2009 hingga 2018, data Otoritas Jasa Keuangan memperlihatkan bahwa jumlah perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia menggeliat dari 398 perusahaan pada 2009 menjadi 619 perusahaan.

Dari sisi perusahaan yang mencatatkan diri (listing) ke pasar modal, dalam rentang waktu yang sama jumlahnya juga terus meningkat. Bila pada 2009 yang listing sebanyak 12 perusahaan, namun pada 2018 terdapat sebanyak 57 perusahaan.

Jumlah perusahaan yang mencatatkan diri di bursa pada 2018 menjadi rekor tertinggi dalam rentang 10 tahun terakhir, bahkan mungkin menjadi jumlah terbanyak sepanjang 25 tahun usia bursa di Indonesia.

Pada saat yang sama, jumlah kapitalisasi pasar di BEI melonjak dari Rp 2.019,38 triliun pada 2009 menjadi Rp 7.023,50 triliun pada 2018. Dari sisi transaksi harian pun terlihat amat dinamis dengan tren terus meningkat.

Tahun 2000, nilai transaksi harian baru tercatat sekitar Rp 4 triliun. Namun, tahun 2018, melonjak menjadi sekitar Rp 8,5 triliun. Bahkan, pada minggu ke-5 Januari 2019, jumlah transaksi harian di pasar modal sempat menyentuh Rp 10,7 triliun.

Aturan Suspensi

Di tengah gairah korporasi masuk ke pasar modal dan antusias para investor melakukan jual dan beli saham di lantai bursa, kita melihat kebijakan manajemen Bursa Efek Indonesia melakukan cooling down lewat kebijakan penghentian sementara (suspensi) perdagangan saham.

Alasan yang kerap mengemuka adalah bahwa suspensi dilakukan untuk memberikan waktu yang memadai bagi pelaku pasar untuk mempertimbangkan secara matang berdasarkan informasi yang ada dalam setiap pengambilan keputusan berinvestasi saham. Penghentian sementara perdagangan biasanya dilakukan di Pasar Reguler dan Pasar Tunai.

Terkait aturan suspensi, bila melihat Keputusan Direksi PT BEI Nomor Kep-00059/BEI/07-2019 lebih terkait dengan penyampaian laporan keuangan.

IX. 1. Perusahaan Tercatat yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Bursa akan dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan Nomor 1-H tentang Sanksi kecuali ketentuan 11.2.4, mengenai besaran denda, dan ketentuan 11.6, mengenai sanksi keterlambatan penyampaian laporan keuangan.

IX.2. Perusahaan Tercatat yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Bursa dapat dikenakan sanksi denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

IX.3. Khusus bagi Perusahaan Tercatat yang terlambat menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan VHI.3. Peraturan ini dikenakan sanksi sebagai berikut:

IX.3.1. Peringatan tertulis I, atas keterlambatan penyampaian laporan keuangan sampai akhir bulan berikutnya terhitung sejak batas waktu penyampaian laporan keuangan.

IX.3.2. Peringatan ter tulis II, apabila mulai awal bulan ke-2 (dua) sampai dengan akhir bulan ke-2 (dua) sejak batas waktu penyampaian laporan keuangan, Perusahaan Tercatat tetap tidak memenuhi kewajiban penyampaian laporan keuangan.

IX.3.3. Peringatan tertulis III, apabila mulai awal bulan ke-3 (tiga) hingga akhir bulan ke-3 (tiga) sejak batas waktu penyampaian laporan keuangan, Perusahaan Tercatat tetap tidak memenuhi kewajiban penyampaian laporan keuangan.

IX.3.4. Suspensi, apabila mulai awal bulan ke-4 (empat) sejak batas waktu penyampaian laporan keuangan, Perusahaan Tercatat tetap tidak memenuhi kewajiban penyampaian laporan keuangan.

IX.3.5. Sanksi suspensi Perusahaan Tercatat hanya akan dibuka apabila Perusahaan Tercatat telah menyerahkan laporan keuangan. Kembali soal suspensi saham, khususnya lantaran fluktuasi harga, bila melihat realita yang ada, kita bisa melihat ternyata lamanya suspense cukup beragam.

Ada yang hitungan hari, minggu, hingga hitungan bulan. Dalam catatan penulis, pada 2018, setidaknya ada 51 emiten yang perdagangan sahamnya dihentikan sementara. Sedangkan tahun 2019, per 18 Desember, ada 68 saham yang terkena suspensi. Aturan suspensi yang diberlakukan Bursa Efek Indonesia terasa kurang jelas, terutama terkait dengan berapa lama sebuah saham harus dihentikan perdagangannya. Padahal, industri pasar modal itu padat regulasi.

Saat proses initial public offering (IPO), Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan memberikan tenggat waktu, timeline yang ketat. Ada ketentuan soal Reg 1, Reg 2, dan Reg 3. Semua persyaratan harus diikuti oleh calon emiten.

Ada baiknya emiten yang terkena suspensi, mendapat informasi tentang apa saja yang perlu segera diperbaiki dan di mana letak kesalahannya. Tujuannya adalah mencari jalan keluar. Saat ini, ada emiten yang terkena suspensi selama satu sampai dua tahun dan dapat berujung pada penghapusan pencatatan saham (delisting).

Sepanjang lima tahun terakhir, 2015-2019, menurut catatan penulis ada 21 saham yang delisting dari lantai bursa. Dalam rentang waktu itu, tahun 2017 mencetak rekor tertinggi, yakni sebanyak delapan saham/emiten. Sedangkan tahun 2019, hingga 18 September 2019 tercatat ada enam saham/emiten yang delisting.

Kenapa mereka mental dari lantai bursa? Dalam hemat penulis, itu terjadi karena tidak dicari jalan keluar atas problema yang dihadapi emiten bersangkutan. Semestinya mereka mendapat perhatian dan sentuhan dari manajemen Bursa Efek Indonesia lazimnya perhatian terhadap saham-saham bluechip yang terangkum di LQ 45.

Kalau merujuk Bursa Malaysia, kita bisa belajar soal PN17, yakni kumpulan perusahaan yang berada dalam kesulitan keuangan. Perusahaan yang termasuk dalam definisi PN17 perlu menyerahkan proposal mereka kepada Otoritas untuk merestrukturisasi dan menghidupkan kembali perusahaan untuk mempertahankan status pencatatan di Bursa Malaysia.

Karena itu, dalam hemat penulis, sebaiknya emiten jangan digantung lewat suspensi berkepanjangan. Sebaiknya, suspensi pertama kali adalah satu hari. Suspensi kedua paling lama tiga sampai lima hari. Kenapa ada yang disuspensi berbulan-bulan tanpa ada solusi dan edukasi serta arahan dari Bursa Efek Indonesia sehingga berujung delisting?

Manajemen Bursa Efek Indonesia seharusnya bukan hanya rajin kampanye kepada semua pihak untuk masuk pasar modal lewat skema initial public offering, melainkan juga harus membimbing emiten setelah masuk pasar modal. Di sisi lain, pengelola bursa dapat dituntut secara hukum lewat UU Tipikor khususnya terkait pasal Pembiaran Wewenang. Abdi Negara yang digaji oleh masyarakat seharusnya melayani bukan membuat susah emiten.

Investor yang memegang saham emiten bisa menuntut secara hukum apabila dirugikan. Hal itu sudah pernah ada contohnya.

Saat itu, ada investor yang mempertanyakan kenapa saham yang dipegangnya terkena suspensi. Tapi tidak pernah ada penjelasan, di mana letak kesalahannya. Kejadian itu akhirnya dilaporkan kepada pihak kepolisian dan akhirnya pihak regulator meminta maaf.

Merujuk pasal 2 ayat (1) UU Tipikor disebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hokum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Lebih lanjut, Pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan maksimal Rp 1 miliar.

Tentu kita berharap tak perlu menggunakan UU tersebut untuk mencari jalan keluar. Komunikasi yang transparan dan berjalan dua arah serta tampilnya peran pembinaan dari regulator bursa tentu lebih bijak ketimbang urusan hukum. Iklim pasar modal yang kondusif diharapkan turut ikut lebih menggairahkan masyarakat untuk berinvestasi di pasar modal.

Vier Abdul Jamal, Penulis adalah Senior Stock Trader & Block Investors, tinggal di Jakarta.

Editor: Gora Kunjana (gora_kunjana@investor.co.id)

Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS

BAGIKAN

Berita Terkait


Berita Terkini


Business 23 menit yang lalu

Ada 140 Juta Unit, Pasar Kendaraan Listrik Indonesia Menjanjikan    

Pasar kendaraan listrik di Indonesia sangat menjanjikan didukung populasi sebanyak 140 juta kendaraan di Indonesia
Market 45 menit yang lalu

Antam (ANTM) Sebut Ekosistem Baterai Terintegrasi bakal Terwujud, Berikut Faktor Pendukung

Antam optimistis ekositem baterai terintegrasi di Indonesia bakla terwujud
Business 52 menit yang lalu

Industri Hilir Sawit Hadapi Tantangan Global

Industri hilir sawit hadapi tantangan global
Market 57 menit yang lalu

LPEM: GOTO Berkontribusi hingga 2,2% terhadap PDB Indonesia di 2022

Goto disebut memiliki dampak besar terhadap ekonomi Indonesia. Nilai transaksinya diprediksi mencapai 1,8-2,2% terhadap PDB nasional
Business 58 menit yang lalu

UMKM Berpengaruh Penting Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja di ASEAN

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan UMKM berkontribusi menciptakan 35-97% untuk penciptaan lapangan kerja di wilayah ASEAN
Copyright © 2023 Investor.id