Intermediasi Perbankan Kembali Melaju

Pandemi yang disebabkan oleh Covid-19 sudah berlangsung hampir dua tahun lamanya dan telah melahirkan dampak yang luar biasa ke sektor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi global mengalami penurunan drastis sehingga hampir semua negara memasuki zona resesi ekonomi.
Resesi ekonomi juga dialami Indonesia sebagai dampak dari pandemi tersebut, dan merupakan resesi pertama yang muncul semenjak 22 tahun yang lalu di saat kita mengalami krisis moneter di tahun 1998.
Salah satu dampak dari resesi adalah menurunnya fungsi intermediasi perbankan, yang selama ini menjadi salah satu mesin penggerak perekonomian nasional. Penurunan fungsi intermediasi perbankan tersebut sangat logis terjadi mengingat faktor risiko gagal bayar kredit semakin meningkat, akibat ketidakpastian ekonomi ke depan. Di samping itu, turunnya permintaan barang dan jasa akibat pembatasan mobilitas manusia juga menjadi pemicu turunnya permintaan kredit oleh konsumen maupun pelaku usaha.
Sebelum pandemi terjadi, kredit perbankan melaju cukup deras, yaitu mencapai angka Rp 5.712 triliun pada bulan Maret 2020, dan akibat dampak pandemi posisinya terus mengalami kontraksi hingga mencapai posisi terendah Rp 5.397 triliun pada bulan Januari 2021.
Penurunan kredit perbankan tersebut hampir terjadi di semua sektor kegiatan usaha, sehingga mengganggu pendapatan operasional bank yang mayoritas diperoleh dari bunga kredit. Penurunan intermediasi perbankan tersebut juga diikuti dengan melonjaknya restrukturisasi kredit perbankan yang sempat menyentuh angka tertinggi Rp 971 triliun pada Desember 2020.
Keberhasilan Kebijakan Countercyclical
Kesigapan pemerintah dengan mengeluarkan bauran kebijakan ekonomi makro yang bersifat akomodatif dan countercyclical, sangat berpengaruh terhadap fungsi intermediasi perbankan. Pertama, kebijakan moneter ekspansif yang disertai dengan penurunan suku bunga acuan dan pembelian surat berharga negara (SBN) oleh Bank Indonesia, dianggap berhasil menyalurkan likuiditas yang melimpah untuk membiayai kegiatan usaha di berbagai sektor ekonomi. Suku bunga acuan mencapai angka terendah dalam sejarah moneter Indonesia, yaitu sebesar 3,5%. Penurunan uang muka atau DP nol persen untuk kredit pemilikan rumah dan kendaraan bermotor juga berhasil mendongkrak permintaan atas rumah dan kendaraan bermotor.
Kedua, kebijakan restrukturisasi kredit yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada awal pandemi terjadi, sangat membantu bank-bank dalam mengelola risiko kredit dan risiko likuiditas agar dapat terkontrol dengan baik. Kebijakan OJK terkait dengan restrukturisasi kredit tersebut juga berhasil menyelamatkan ribuan pelaku usaha dari ancaman kebangkrutan. Dengan melakukan restrukturisasi kredit, pelaku usaha memperoleh keringanan untuk membayar angsuran pokok dan bunganya sehingga mengurangi beban kegiatan usaha mereka.

Kebijakan OJK lainnya dalam bentuk pengurangan bobot risiko untuk kredit properti dan kendaraan bermotor mampu mendorong bank untuk berani menyalurkan kredit perbankan kembali. Dengan meningkatnya permintaan terhadap properti dan kendaraan bermotor diharapkan akan mendorong terjadinya efek pengganda (multiplier effect) yang lebih luas ke sektor-sektor lainnya yang selama ini menjadi mata rantai pendukung kedua sektor tersebut.
Ketiga, kebijakan pemerintah dalam bentuk relaksasi pajak untuk PPh pasal 21 dan 22 serta penundaan pasal 25 untuk jangka waktu tertentu telah membantu pelaku usaha melonggarkan likuiditasnya dan memperkuat daya beli masyarakat. Kebijakan lanjutan dalam wujud relaksasi PPnBM untuk kendaraan bermotor dan PPN untuk rumah baru siap pakai dengan kriteria tertentu, telah berhasil mendorong permintaan atas kendaraan bermotor dan properti. Insentif pajak tersebut yang disertai dengan uang muka nol persen dan pengurangan risiko kredit, tentunya mendorong peningkatan kredit perbankan baik dari sisi demand maupun supply.
Kredit Kembali Melaju
Dukungan kebijakan pemerintah di atas secara perlahan-lahan mampu mendongkrak intermediasi perbankan kembali menuju jalur ekspansi. Kredit perbankan untuk pertama kalinya telah melewati periode paceklik dan mengalami pertumbuhan positif pada bulan Juni 2021 sebesar 0,59% (yoy) atau meningkat sebesar Rp 67,39 triliun. Posisi kredit perbankan di periode tersebut mencapai Rp 5.581 triliun.
Walaupun masih relatif rendah pertumbuhannya, namun angka tersebut memberikan indikasi bahwa aliran dana perbankan sudah mengalir kembali untuk membiayai berbagai kegiatan usaha di sektor riil. Kondisi tersebut sejalan dengan angka pertumbuhan PDB Indonesia pada triwulan II-2021 yang telah keluar dari jurang resesi dan tumbuh positif sebesar 7,07% (year on year/yoy). Ekspansi kegiatan ekonomi yang terjadi pada triwulan II-2021 tersebut mampu mendorong permintaan kredit perbankan guna membiayai berbagai kegiatan usaha.
Intermediasi Perbankan Alami Perbaikan
Pertumbuhan kredit yang positif tersebut terus memperlihatkan tren kenaikan pada triwulan III-2021, yang sejalan dengan pertumbuhan PDB sebesar 3,51% (yoy) pada periode tersebut. Pada September 2021, penyaluran kredit perbankan mengalami kenaikan sebesar 2,21% (yoy), sehingga posisi kredit perbankan mencapai Rp 5.652 triliun. Pada Oktober 2021, kredit perbankan terus melanjutkan pertumbuhan sebesar 3,4% (yoy), November 2021 tumbuh 4,73% (yoy), dan terakhir pada Desember tumbuh 4,9% (yoy).
Posisi kredit perbankan pada akhir tahun 2021 tersebut mencapai angka Rp 5.755,7 triliun, lebih tinggi dibandingan akhir tahun 2020 yang hanya mencapai Rp 5.481,5 triliun.
Berdasarkan jenis penggunaannya, kredit modal kerja tumbuh sebesar 6,1% (yoy), kredit investasi 4,30% (yoy), dan kredit konsumsi 3,2% (yoy). Pertumbuhan kredit tersebut terjadi pada hampir semua sektor perekonomian termasuk UMKM, sehingga mengindikasikan bahwa mesin-mesin perekonomian sudah mulai kembali berjalan.
Membaiknya intermediasi perbankan tersebut didukung oleh beberapa faktor. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) per Desember 2021 mencapai 118,3, meningkat dibandingkan dengan Desember 2020 sebesar 96,5 yang masih berada di zona kontraksi. Kenaikan indeks IKK tersebut sekaligus memberikan indikasi bahwa keyakinan konsumen sudah memasuki zona optimisme terhadap membaiknya masa depan perekonomian nasional.
Tren kenaikan penyaluran kredit tersebut diikuti dengan semakin menurunnya restrukturisasi kredit perbankan sehingga menjadi Rp 693,62 triliun, yang meliputi 4,2 juta debitur pada ovember 2021.
Tantangan ke Depan
Kita berharap kredit perbankan akan terus mengalir semakin deras untuk membiayai berbagai kegiatan usaha sejalan dengan pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung saat ini. Ramalan kredit perbankan akan tumbuh sebesar 4-5% pada tahun 2021 bukan sesuatu yang mustahil untuk dicapai.
Pertumbuhan kredit yang terus meningkat sangat dibutuhkan untuk mendukung momentum pemulihan ekonomi pada tahun 2022. Namun demikian, ada beberapa tantangan yang akan dihadapi, baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah. Pertama, ancaman tapering dalam bentuk kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (the Fed), yang direncanakan pada awal tahun 2022 ini, tentunya berpotensi memaksa bank sentral negara-negara lainnya untuk ikut mengerek suku bunga acuan ke level yang tinggi. Kondisi ini tentunya akan mengganggu intermediasi perbankan baik dari sisi supply maupun demand.
Kedua, potensi munculnya varian-varian baru dari virus Cvid-19 dapat mengancam kembali aktivitas manusia. Saat ini muncul varian omicron yang membuat pandemi Covid-19 semakin tidak jelas kapan berakhirnya. Kondisi ini akan mendorong pembatasan mobilitas manusia seperti yang terjadi sebelumnya di tahun 2020. Pembatasan mobilitas manusia dapat mengurangi secara langsung tingkat konsumsi masyarakat maupun produksi barang dan jasa. Akibatnya dapat mengembalikan kegiatan ekonomi ke posisi kontraksi, termasuk permintaan kredit perbankan.
Intermediasi perbankan akan mengalir searah dengan pertumbuhan ekonomi yang positif, dan begitu juga sebaliknya apabila pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi.
*) Penulis adalah seorang Kepala Departemen di OJK. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Editor: Totok Subagyo (totok_hs@investor.co.id)
Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS
Berita Terkini
Ekonomi Lima Negara ASEAN Berpotensi Tumbuh 4,7% pada 2023
Pertumbuhan ekonomi lima negara ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand berpotensi capai 4,7% pada 2023.Startup Aruna Bagikan Kartu Kusuka kepada Nelayan Binaan di Kaltim
Kusuka adalah salah satu program KKP yang bekerjasama dengan bank BRI, sehingga Kusuka tersebut berbentuk kartu ATMMBM Gelar IPO Kakap, Target Dana Rp 9,6 Triliun
PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBM/MBMA), anak usaha MDKA, akan menggelar IPO saham dengan target dana Rp 9,6 triliun.Laba Bersih Indika (INDY) Terbang 684%
Indika (INDY) mencatatkan laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk US$ 452,67 juta pada 2022.Genesys Luncurkan Satelit untuk Melayani Jakarta, Hong Kong, dan Paris
Peluncuran satelit tersebut dapat membantu berbagai bisnis, terutama industri asuransi, perbankan, dan pemerintahan.Tag Terpopuler
Terpopuler
