Asean dan Indonesia

Acara kick-off keketuaan Indonesia di Asean pada hari Minggu lalu di Jakarta sungguh membesarkan hati pendukung setia Asean di Tanah Air. Acara itu menunjukkan betapa antusiasnya pemerintah, dunia usaha dan masyarakat umum untuk menyambut kembali tugas 10 tahunan ini. Terakhir Indonesia menjadi Ketua Asean pada tahun 2012, atau setahun lebih awal, karena pada tahun 2013 Indonesia harus menjadi Ketua APEC dan tuan rumah Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-9.
Bila diamati perjalanan panjang Asean sejak terbentuk pada tahun 1967 dan perubahan lingkungan strategis yang dihadapi Asean hingga dua-tiga tahun terakhir, maka eksistensi Asean saat ini terasa menjadi sangat penting dibanding sebelumnya, setidaknya dari perspektif ekonomi.
Data yang dikonsolidasikan oleh Sekretariat Asean menunjukkan bahwa dari tahun 2020 ke tahun 2021 —saat Covid-19 menjadi pengganggu utama global supply chain sebelum kemudian diperparah lagi oleh perang antara Rusia dan Ukraina pada awal tahun 2022— Asean mampu mencatatkan pertumbuhan yang baik. Produk domestik bruto (PDB) Asean, misalnya, tumbuh dari 3,0% ke 3,3%. Kemudian, PDB per kapita tumbuh dari US$ 4.536 ke US$ 7.458; ekonomi tumbuh dari -3,2% di tahun 2020 menjadi +3,4% di tahun 2021; perdagangan jasa meningkat dari US$ 695,2 miliar menjadi US$ 745,8 miliar. Investasi pun, secara regional, mampu tumbuh dari -29,7% menjadi 42,3%.
Sumber yang sama menunjukkan bahwa kinerja perdagangan barang Asean dari tahun 2020 ke 2021 tidak sebaik indikator lainnya. Namun yang menarik, tatkala perdagangan Asean dengan non-Asean (extra-Asean) menurun tajam dari US$ 2,10 triliun menjadi hanya US$ 566,93 miliar, perdagangan intra-Asean menurun sedikit saja, dari US$ 566,93 miliar menjadi US$ 528,23 miliar.
Agenda 2023
Dari angka-angka di atas, rasanya pemilihan tema keketuaan Indonesia di Asean tahun ini, ASEAN Matters: Epicentrum of Growth, bukan sekadar sebuah frase yang terbaca gagah. Ada pesan kuat di dalamnya: Asean siap mengambil peran sejarah untuk berkontribusi pada perbaikan ekonomi dunia. Ini juga sejalan dengan transisi pendapat banyak pengamat ekonomi, bahwa yang kita saksikan ke depan bukan lagi the New Normal tetapi the New Next. Dalam konteks ekonomi, ini dapat dibaca sebagai kebangkitan Asia Timur untuk memimpin perekonomian dunia.
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mungkin masih harus berurusan lagi dengan tingkat kematian yang tinggi akibat Covid-19, dan perekonomian Asia Timur lainnya seperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan juga belum mampu bangkit sepenuhnya dari keterpurukan akibat disrupsi global chain dalam satu-dua tahun ini. Oleh karena ini, setidaknya dalam jangka pendek, pusat pertumbuhan Asia Timur dapat saja akan berpusat di Asean yang sejauh ini mencatatkan ketahanan ekonomi internalnya.
Dalam jangka panjang, diharapkan Asean tetap mampu mengembangkan posisinya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi kawasan, terutama dengan mulai diimplementasikannya perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership atau RCEP. Perjanjian RCEP dibidani kelahirannya oleh Indonesia pada tahun 2011 sebagai respons Asean menghadapi desakan RRT untuk merundingkan Asean+3 FTA dan dorongan Jepang untuk merundingkan Comprehensive Economic Partnership for East Asia antara Asean dan enam mitra FTA Asean.
Indonesia mendapatkan kepercayaan untuk mengkoordinasikan 10 negara anggota Asean sekaligus memimpin perundingan Perjanjian RCEP dengan mitra Asean sejak tahun 2013 hingga diselesaikan dan ditandatangani oleh 10 negara Asean dan 5 negara mitra Asean pada bulan November 2020. Diyakini oleh para pakar, RCEP merupakan regional game changer dan akan menempatkan Asean sebagai pusat—epicentrum—perdagangan di Asia Timur.
Jejak kepemimpinan Indonesia di Asean sebetulnya tidak terbatas di bidang ekonomi saja, tetapi juga di bidang politik-keamanan dan kerja sama sosial-budaya. Namun, ketika masyarakat di belahan dunia manapun mulai keras menyuarakan perlunya pertumbuhan yang lebih berkualitas (quality growth) dan bukan sekadar pertumbuhan (growth), maka memberi fokus pada kerja sama ekonomi Asean merupakan sebuah keniscayaan.
Di tahun yang sulit ini, dan dengan catatan panjang kesepakatan yang dicapai selama ini, seyogianya Indonesia memberi perhatian ekstra pada peningkatan koordinasi penerapan kebijakan ekonomi regional Asean. Bila ini dapat dilakukan, niscaya cibiran bahwa “AFTA” adalah singkatan Agree First, Think After” dapat ditepis.
Fokus Indonesia
Dalam 55 tahun perjalanannya, Asean telah mencatatkan banyak kesepakatan di bidang ekonomi, perdagangan dan investasi. Dimulai dengan Asean Preferential Trading Arrangement atau Asean-PTA pada tahun 1977, kelompok negara-negara Asia Tenggara ini menyepakati Asean Free Trade Area atau AFTA pada tahun 1992.
Tidak berhenti di situ, dalam kurun waktu tahun 1995 hingga 2015, Asean menyepakati perjanjian-perjanjian di bidang jasa, investasi, kepabeanan, standar bidang barang, pembentukan single window dan trade repository, e-commerce, standar jasa profesional dan lainnya, hingga akhirnya disepakati agar semua perjanjian di pilar ekonomi diarahkan pada pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean atau MEA 2025.
Mengamati agenda ekonomi yang ambisius, Asian Development Bank pernah merekomendasikan agar Asean fokus dulu pada sejumlah pekerjaan rumah agar agenda MEA dapat terwujud secara efektif. Beberapa rekomendasi itu adalah (1) memperkuat kepemimpinan organ pembuat keputusan tertinggi khususnya Dewan MEA dan badan-badan tingkat Menteri di bawahnya; (2) mempertajam fungsi organ teknis untuk mengimplementasikan perjanjian atau kesepakatan yang ada. Kemudian; (3) memprioritaskan program kunci pencapaian MEA; dan (4) membangun sistem monitoring yang efektif guna memperkecil policy variations di tingkat nasional yang tidak sesuai dengan kesepakatan dan semangat MEA.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan 16 Capaian Utama Asean di Bidang Ekonomi (Priority Economic Deliverables atau PED) tahun ini, yang tercakup dalam tiga kelompok deliverables, yakni (1) pemulihan dan pembangunan kembali; (2) ekonomi digital; dan (3) keberlanjutan. Hal seperti ini sudah menjadi tradisi di kalangan Asean: negara yang memimpin akan menetapkan deliverables yang ditargetkan pada tahun kepemimpinannya. Terbetik pula pernyataan bahwa dalam masa kepemimpinannya di Asean tahun ini, Indonesia akan menindaklanjuti isu-isu prioritas di G20.
Di masa lalu, hal seperti itu memang membuka kesempatan bagi lahirnya ide-ide baru untuk ditorehkan dalam sejarah perjalanan organisasi atau forum yang dipimpin. Namun, di tahun yang sulit ini, dan dengan catatan panjang kesepakatan yang dicapai selama ini, seyogianya Indonesia memberi perhatian ekstra pada peningkatan koordinasi penerapan kebijakan ekonomi regional Asean. Bila ini dapat dilakukan, niscaya cibiran bahwa “AFTA” adalah singkatan Agree First, Think After” dapat ditepis. Sebagai founder sekaligus critical mass Asean, Indonesia tentu bisa!
*) Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan RI, 2012-2014 dan 2016-2020, Duta Besar Indonesia untuk WTO, 2014-2015, dan Anggota Dewan Redaksi B-Universe Media Holding.
Editor: Totok Subagyo (totok_hs@investor.co.id)
Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS
Berita Terkait
Berita Terkini
Anggarkan Dana Rp 250 Miliar, Cisadane (CSRA) Bidik Kenaikan Produksi CPO 25%
CSRA membidik kenaikan produksi 25% dengan mengalokasikan belanja modal hingga Rp 250 miliar tahun iniMahfud MD Sebut Eselon I Tutup Akses Sri Mulyani Terkait Data Pencucian Uang di Kemenkeu
Menkeu sempat menanyakan kepada pejabat Kemenkeu terkait surat PPATK tentang transaksi mencurigakan.Hindari Kemacetan Arus, Cuti Bersama Libur Idulfitri Digeser Maju dan Tambah 1 Hari
Pemerintah resmi merevisi cuti bersama dan libur Idulfitri dengan penambahan satu hariKepala PPATK Ungkap Transaksi Janggal Rp189 Triliun di Kemenkeu
Berikut analisa transaksi TPPU senilai Rp 189 di Kemenkeu berdasarkan analisa PPTAKDi DPR, Mahfud Beberkan Transaksi Dugaan TPPU Rp 349 Triliun
Transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun terbagi dalam tiga kelompok.Tag Terpopuler
Terpopuler
