Perppu Cipta Kerja dan Deregulasi

Di tengah kekhawatiran banyak negara bahwa tahun 2023 ini akan menjadi tahun penuh tantangan yang belum pernah dialami sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022. Terbitnya Perppu pada 30 Desember 2022 ini sontak mengundang reaksi, baik yang pro maupun kontra.
Mungkin tidak banyak yang mengetahui siapa Publius Cornelius Tacitus. Tetapi sungguh, ia bukanlah tokoh fiktif. Ia adalah seorang senator dan ahli sejarah di zaman Romawi, hidup antara tahun 56 dan 117 Masehi, dan menulis berbagai buku termasuk di antaranya the Annals of Imperial Rome. Dari pengamatannya terhadap jalannya pemerintahan Romawi dan kerajaan lain di kawasan Eropa saat itu, Tacitus sampai pada pendapat bahwa semakin korup sebuah pemerintah, maka semakin banyak aturan yang dibuat. Dan logika ini bisa diputar-balik: semakin banyak pemerintah membuat aturan maka semakin menjadi koruplah pemerintah itu.
Pendapatnya mungkin terdengar sumbang di telinga banyak orang di era internet of things dan Artificial Intelligence (AI) saat ini; tapi bila dipikir jernih dan hati yang jujur, Tacitus benar.
Regulasi vs Deregulasi
Entah terinspirasi oleh pendapat Tacitus atau tidak, Pemerintah RI di bawah komando Presiden Jokowi memprakarsai UU Cipta Kerja guna memangkas, menyederhanakan dan menyelaraskan berbagai aturan di pemerintah pusat maupun daerah yang telah mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Tujuannya adalah mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang semakin berkualitas dan lapangan kerja yang lebih luas.
Di balik itu, hasil ikutan yang diharapkan adalah menurunnya secara drastis kecenderungan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dalam perekonomian nasional.
Dengan kata lain, UU Cipta Kerja yang kini dituangkan dalam bentuk Perppu Cipta Kerja itu sejatinya adalah tentang deregulasi. Meskipun harus diakui bahwa sebagai produk buatan manusia, UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 yang kemudian menjadi Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tidaklah dapat dikatakan sempurna.
Kondisi perekonomian Indonesia dan dunia menyusul terbitnya UU Cipta Kerja pada tahun 2020 tidak serta-merta membaik. Bila perekonomian dunia mulai memburuk sepanjang tahun 2021, maka memasuki kuartal II-2022 perekonomian dunia mulai benar-benar terfragmentasi, tidak saja akibat global value chains yang sulit dioperasikan akibat pandemi Covid-19, tetapi juga karena perang antara Rusia dan Ukraina ikut mengganggu apa yang masih tersisa dari tahun 2021.
Tentu bukan hal mudah untuk menjalankan proses reformasi ekonomi di tengah mandegnya value chains akibat gencarnya aksi geo-politik negara-negara besar, baik di tingkat regional maupun global.
Dalam setahun ini pengamat ekonomi dan perdagangan dunia mulai terbiasa membaca pemberitaan tentang ditempuhnya tindakan trade coercion, atau kebijakan mempersenjatai kebijakan perdagangan dengan ancaman pembekuan atau penyitaan aset negara lain. Atau dijalankannya beggar thy-neighbor policy untuk mengatasi masalah domestik namun disengaja atau tidak menimbulkan dampak negatif bagi negara lain.
Karena Indonesia tidak hidup dalam sebuah silo yang steril, perkembangan akhir-akhir ini dapat berdampak buruk pada perekonomian nasional: terganggunya jalur suplai internasional; melemahnya nilai tukar yang mempengaruhi kemampuan untuk mengimpor kebutuhan industri tujuan ekspor; melemahnya demand dari negara utama tujuan ekspor; dan disrupsi lainnya di sepanjang global value chain.
Di tengah ketidakpastian luar biasa saat ini, patut disyukuri bahwa pilihan pemerintah adalah melanjutkan deregulasi dengan menggulirkan Perppu tentang Cipta Kerja. Sangat mudah sebetulnya mengambil pilihan sebaliknya: kembali ke regulasi. Apalagi banyak negara, termasuk ekonomi maju, justru berbalik kembali ke kebijakan merkantilis yang mahal ongkosnya dan lebih mengutamakan “pertumbuhan” dan bukan “pertumbuhan yang berkualitas” seperti yang diinginkan pemerintah dengan menerbitkan UU, dalam hal ini Perppu Cipta Kerja.

Regulasi seharusnya tidak didasarkan pada harapan-harapan kosong (wishful thinking) atau kepentingan kelompok. Ia harus spesifik namun cukup universal untuk berlaku dalam banyak situasi. Kebutuhan terus-menerus untuk menerbitkan pengecualian bahkan berkali-kali merevisi aturan yang baru diterbitkan merupakan petunjuk bahwa regulasi itu ditetapkan tanpa pertimbangan matang dan biasanya rawan untuk disalahgunakan.
Menghadapi 2023
Seperti kata-kata orang bijak-bestari, di setiap kesulitan pasti ada kesempatan. Tanpa harus menjadi complacent atau takabur, rasanya ketidakpastian ekonomi dunia tahun ini perlu disikapi secara cerdas. Caranya: kolaborasi yang erat di antara semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, pelaku bisnis baik yang besar, menengah, kecil maupun mikro, serta perguruan tinggi, pekerja di semua sektor dan masyarakat umumnya.
Berbagai ketidakpuasan terhadap Perppu tentang Cipta Kerja mungkin perlu diparkir sejenak. Pemerintah perlu menemukan policy-mix yang tepat pada tataran implementasi untuk mendorong sektor-sektor produktif tetap dapat menyediakan lapangan kerja yang layak. Bisnis juga perlu menyusun strategi untuk bertahan menghadapi gelombang demi gelombang ketidakpastian, dan ini memerlukan cukup ruang dan waktu untuk bermanuver.
Kurang-lebih setahun sebelum memasuki tahun Pemilu 2024, ada kemungkinan pemerintah menerbitkan sejumlah aturan atau regulasi yang dipandang perlu untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi tetap kuat. Di sini, masyarakat perlu mengawal agar penetapan regulasi itu mengikuti serangkaian proses uji: apakah tujuannya jelas dan spesifik (focused) dan dapat dicapai (doable); apakah ada mekanisme pengukuran capaian yang objektif; adakah aturan pengakhiran (sunset clause) bila sewaktu-waktu harus diakhiri; sudah adakah aturan serupa agar tidak terjadi tumpah-tindih aturan; apakah ada mekanisme pengawasan ke dalam (aparat pemerintah) dan keluar (pelaku usaha), serta sederet pertanyaan lainnya.
Regulasi seharusnya tidak didasarkan pada harapan-harapan kosong (wishful thinking) atau kepentingan kelompok. Ia harus spesifik namun cukup universal untuk berlaku dalam banyak situasi. Kebutuhan terus-menerus untuk menerbitkan pengecualian bahkan berkali-kali merevisi aturan yang baru diterbitkan merupakan petunjuk bahwa regulasi itu ditetapkan tanpa pertimbangan matang dan biasanya rawan untuk disalahgunakan.
Cornelius Tacitus tampaknya luput untuk mengamati di zamannya: baik regulasi maupun deregulasi perlu dibarengi dengan upaya untuk memperkuat governance atau tata-kelola. Karena ternyata manusia yang hidup setelah masa Kerajaan Romawi memiliki kecenderungan alamiah yang semakin kuat terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme.
*) Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan RI, 2012-2014 dan 2016-2020, Duta Besar Indonesia untuk WTO, 2014-2015, dan Anggota Dewan Redaksi B-Universe Media Holding.
Editor: Totok Subagyo (totok_hs@investor.co.id)
Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS
Berita Terkait
Berita Terkini
Gudang Pakaian Impor Bekas Digerebek, Polisi Periksa 15 Saksi
Presiden Jokowi menilai impor pakaian bekas mengganggu industri UMKM.Kabar Duka, Paulus Plate Tapun Ayahanda Menkominfo Johnny G Plate Meninggal Dunia
Masa purna bakti hingga meninggal, Paulus Plate Tapun diketahui menetap di Reo, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, NTT.Haedar Imbau Warga Muhammadiyah Lakukan Jihad Ekonomi Masif dan Terstruktur
Jihad ekonomi menjadi salah satu putusan dalam Muktamar Muhammadiyah di Makassar pada 2015.Direksi Makin Solid, Ini Strategi BTN Kejar Target Laba Rp 3,3 Triliun
BTN optimistis on the track mewujudkan visi perseroan menjadi The Best Mortgage Bank di Asia Tenggara pada tahun 2025Bantuan Operasional Pendidikan Dini Islam Rp381 Miliar Bakal Cair
Pencairan BOP RA tahap I. akan diperuntukkan bagi 28.841 RA seluruh Indonesia.Tag Terpopuler
Terpopuler
