Kamis, 30 Maret 2023

Optimalisasi Potensi Perdagangan Karbon

Investor Daily
26 Jan 2023 | 14:44 WIB
BAGIKAN
Ilustrasi. (Freepik)
Ilustrasi. (Freepik)

JAKARTA, investor.id - Perjanjian Paris 2015 menjadi tonggak bersejarah munculnya kesepakatan global untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), yang ditandatangani oleh 197 negara. Setiap negara berkewajiban menurunkan emisi GRK yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) guna mencegah kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius pada 2030. Dalam proposal NDC, Indonesia menyanggupi pengurangan emisi karbon sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri atau 43,20% dengan dukungan internasional pada 2030.

Salah satu instrumen untuk mengurangi emisi GRK adalah perdagangan karbon. Perdagangan karbon (carbon trading) merupakan kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit). Dalam hal ini, pembelinya adalah pihak yang menghasilkan emisi karbon melebihi batas ketentuan. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).

Pendapatan dari perdagangan karbon diperoleh dari berbagai sektor, baik kehutanan, pertanian, maupun energi. Di sektor kehutanan, potensinya bersumber dari hutan tropis, mangrove, dan gambut. Sumber lainnya adalah pengelolaan sampah melalui ekonomi sirkular. Di sektor energi, perdagangan karbon terjadi di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Untuk perdagangan di sektor kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri LHK No 21/2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon pada 21 September 2022. Sedangkan di sektor energi, Menteri ESDM telah menerbitkan Permen ESDM No 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik. Baik Peraturan Menteri LHK No 21/2022 maupun Permen ESDM 16/2022 merupakan turunan Perpres No 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi GRK dalam Pembangunan Nasional.

Di sektor energi, mulai akhir Januari ini, 99 unit PLTU berkapasitas total 33.569 MW akan terlibat dalam perdagangan karbon. Perdagangan karbon oleh pemilik PLTU akan menjadi perdagangan karbon nonsukarela pertama yang diinisiasi pemerintah. Pada tahap pertama, perdagangan karbon diperuntukkan bagi pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang terkoneksi dengan PLN.

Perdagangan karbon dipercaya bakal memberikan dampak berganda (multiplier effect) yang besar bagi perekonomian. Sebab, di sektor kehutanan, Indonesia memiliki kekayaan alam yang dapat dimonetisasi lewat perdagangan karbon. Sebagai ilustrasi, Indonesia memiliki hutan hujan tropis ketiga terbesar di dunia dengan luas area 125,9 juta hektare yang dapat menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton.

Optimalisasi Potensi Perdagangan Karbon

Selain itu, hutan mangrove di Indonesia yang saat ini mencapai 3,31 juta hektare mampu menyerap emisi karbon 950 ton karbon per hektare atau setara 33 miliar karbon. Negeri ini juga memiliki lahan gambut terluas di dunia dengan area 7,5 juta hektare yang mampu menyerap emisi karbon mencapai sekitar 55 miliar ton. Dari tiga aset itu saja, total emisi karbon yang bisa diserap sekitar 113,18 gigaton.

Dengan asumsi harga kredit karbon sekitar US$ 5 per ton, maka potensi pendapatan Indonesia dari perdagangan karbon tiga aset tersebut mencapai US$ 565,9 miliar atau setara Rp 8.000 triliun. Ada pula data lain yang menyebut bahwa Indonesia diperkirakan menyumbang 75-80% kredit karbon dunia. Dengan peran tersebut, perdagangan karbon dapat berkontribusi setidaknya US$ 150 miliar bagi perekonomian Indonesia.

Ada sejumlah mekanisme yang berlaku dalam perdagangan karbon. Pertama adalah cap and trade, yakni perdagangan karbon antar-pelaku usaha lintas sektor. Mereka yang memproduksi emisi lebih dari batas (cap), wajib membeli kelebihannya kepada mereka yang memproduksi emisi lebih rendah dari batas tersebut. Kedua adalah carbon offset atau pengimbangan. Dalam sistem ini, pihak yang memproduksi emisi lebih besar dari baseline, bisa membeli kelebihan emisi tersebut kepada mereka yang menyediakan usaha penyerapan karbon.

Perdagangan karbon bisa terjadi antara pelaku usaha domestik maupun antar-negara. Indonesia pernah berdagang karbon dengan Norwegia. Kedua negara menetapkan perjanjian kerja sama pengurangan emisi, dalam bentuk kegiatan pencegahan deforestasi dan degradasi lahan. Norwegia harus membayar pencegahan deforestasi periode 2016-2017 sebesar US$ 54 juta atau US$ 5 per ton karbon setara CO2.

Guna mewujudkan perdagangan karbon yang ideal, Indonesia harus menyiapkan regulasi yang komprehensif dan detail.

Perdagangan karbon ke depan diharapkan dapat mendorong masuknya investasi hijau, yang pada gilirannya mampu menyediakan lapangan kerja, meningkatkan penerimaan negara, mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, kita juga bisa menginisiasi penggalangan dana global yang bisa dihasilkan dari perdagangan karbon untuk investasi hijau.

Dengan perdagangan karbon, pemerintah di setiap negara dapat memantau jumlah emisi karbon atau gas rumah kaca secara lebih akuntabel dan transparan. Sebab, jumlah emisi dan potensi penyerapannya terukur dengan standar yang telah ditetapkan. Alhasil, jumlah kredit karbon yang beredar di pasar karbon pun bakal membantu dalam mengontrol besarnya emisi karbon yang dilepas ke atmosfer.

Guna mewujudkan perdagangan karbon yang ideal, Indonesia harus menyiapkan regulasi yang komprehensif dan detail. Tujuannya agar produksi maupun pengurangan emisi dapat tercatat, terdokumentasi, dan terverifikasi dengan baik. Apakah itu oleh pihak pemerintah maupun pihak ketiga yang independen.

Di lain sisi, dunia internasional terutama negara maju diimbau dapat mewujudkan penetapan harga karbon yang adil bagi negara-negara pemilik cadangan karbon seperti Indonesia. Bagaimanapun, negara maju yang industrialisasinya sangat maju bakal menanggung ongkos lebih besar untuk belanja karbon.

Indonesia yang selama ini dijuluki paru-paru dunia seyogianya mampu mengoptimalkan potensi besar perdagangan karbon ini. Di masa depan, perdagangan karbon bakal menumbuhkan peluang-peluang ekonomi baru yang menjadi sumber pertumbuhan jangka panjang.***

Editor: Totok Subagyo (totok_hs@investor.co.id)

Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS

BAGIKAN

Berita Terkait


Berita Terkini


Finance 32 menit yang lalu

Sri Mulyani: Pemerintah Waspadai Dampak Penutupan SVB ke Sektor Keuangan Domestik

Bank-bank di Indonesia hampir tidak ada yang memegang obligasi AS, sehingga dampak langsung penutupan SVB tidak terasa.
Lifestyle 1 jam yang lalu

Respons Keputusan FIFA, Erick Thohir: Saya Sudah Berjuang Maksimal

Keputusan FIFA sebagai lembaga tertinggi sepak bola dunia dengan 211 anggota dari berbagai belahan dunia, tidak bisa diganggu gugat.
Lifestyle 2 jam yang lalu

Impian Indonesia Menjadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20 Akhirnya Kandas

Potensi sanksi bagi Indonesia belum diputuskan FIFA.
Business 2 jam yang lalu

Ini Keuntungan Memakai Mobil Hybrid saat Mudik Lebaran 

Menjelang Lebaran 2023, berikut keuntungan menggunakan mobil hybrid selama mudik.
Business 2 jam yang lalu

Kadin, ALFI, dan LIP Kolaborasi Program Vokasi & Kompetensi SDM Logistik

Kadin Indonesia merangkul ALFI dan LSP LIP untuk melaksanakan program pendidikan dan pelatihan.
Copyright © 2023 Investor.id