Sabtu, 25 Maret 2023

Investor Makin Rasional, Bursa Lebih Stabil

Muawwan Daelami / Primus Dorimulu
17 Jan 2023 | 07:20 WIB
BAGIKAN
(dari kiri) Devin Wirawan, Investment Director PT  Saratoga Investama Sedaya Tbk; Lany D Wong, Chief Financial Officer PT Saratoga Investama Sedaya Tbk; Michael Soeryadjaya, Presdir PT Saratoga Investama Sedaya Tbk
(B-Universe Photo/Primus Dorimulu)
(dari kiri) Devin Wirawan, Investment Director PT Saratoga Investama Sedaya Tbk; Lany D Wong, Chief Financial Officer PT Saratoga Investama Sedaya Tbk; Michael Soeryadjaya, Presdir PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (B-Universe Photo/Primus Dorimulu)

JAKARTA, investor.id - Indonesia dan pemerintah selama masa pandemi, 2020 hingga 2021, ikut mendongkrak jumlah investor di pasar modal. Namun, jumlah pemodal yang didominasi investor ritel membuat pasar pasar saham kurang stabil, diwarnai volatilitas yang cukup tinggi. Mulai tahun ini, pasar saham akan lebih stabil karena investor institusi akan lebih berperan.

Lonjakan pemodal selama pandemi dipicu oleh penurunan suku bunga di berbagai negara. Untuk mengangkat daya beli masyarakat, bank sentral memangkas suku bunga dan pemerintah memberikan dana perlindungan sosial. Suku bunga rendah dan pembatasan kegiatan masyarakat selama pandemic mendorong investor individu ke pasar saham dan kripto. Namun, ketika suku bunga sudah menanjak tinggi, pemodal besar mengalihkan investasi portofolio ke obligasi, termasuk obligasi negara.

“Pembelian obligasi dalam konteks portfolio rebalancing berlaku di seluruh dunia,” kata Michael Soeryadjaya, Presdir PT Saratoga Investama Sedaya (SIS) Tbk (SRTG) dalam diskusi dengan sejumlah pemimpin redaksi di Jakarta, Senin (16/01/2023).

Perusahaan investasi ini akan berulang tahun ke-25 pada 26 Januari 2023. Saat ini, perusahaan berkode saham SRTG itu memiliki saham di tujuh perusahaan, yakni PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk  (MPMX), PT Aneka Gas Industri Tbk (AGII), PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), dan PT Adaro Minerals Indonesia (ADMR).

Saham SRTG pada perdagangan Senin (16/01/2023) ditutup pada pada harga Rp 2.350, naik 0,43% dari perdagangan akhir pekan lalu. Dengan market cap Rp 31,88 triliun, harga saham perusahaan ini dinilai cukup rendah dengan price to earning ratio (PER) 1,8 kali. Setiap tahun, perusahaan membagikan dividen dalam jumlah signifkan.

Jumlah investor di pasar modal Indonesia pada 28 Desember 2022 meningkat 37,5% menjadi 10,3 juta dari setahun sebelumnya, 7,48 juta. Jumlah ini sembilan kali lipat dibanding jumlah investor tahun 2017. Data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) juga mencatat jumlah investor pasar modal yang mengacu pada Single Investor Identification (SID) telah mencapai 10 juta dengan komposisi jumlah investor lokal sebesar 99,78%.

Tren peningkatan ini sudah terlihat sejak 2019, ketika investor masih berjumlah 2.484.354. Kondisi ini juga disebabkan oleh implementasi simplifikasi pembukaan rekening efek. Sekitar 82% investor saham berusia di bawah 40 tahun. Industri reksa dana juga menjadi penyumbang jumlah investor di pasar modal. Sekitar 80% investor, demikian data KSEI, adalah selling agent financial technology (fintech) dan 99,9% dari mereka adalah investor individu lokal. “Tahun lalu memang tahun pasar saham karena partisipasi investor ritel meningkat tajam,” kata Micahel.

Karakteristik pemodal ritel lokal berbeda dengan investor institusi yang umumnya melakukan investasi jangka panjang dan lebih mendasarkan keputusan investasi pada kinerja fundmental. Keputusan investasi mereka lebih berdasarkan rumor. Harga saham menjadi sangat volatile karena pemodal ritel umumnya termakan oleh rumor yang disebarkan.

Saat ini, kata Michael, sedang terjadi market balancing. Ketika suku bunga naik, investor cenderung membeli obligasi, korporasi maupun surat berharga negara (SBN). Itu sebabnya, terjadi net selling asing di pasar saham dan net buying asing di SBN. “Kami investasi lebih untuk longterm. Kami memilih saham berfundamental bagus, sehingga ada

alasan untuk menahan minimal sepuluh tahun. Jadi, kami nggak trading. Ada banyak portofolio kami yang sudah menjadi perusahaan publik,” papar putra pengusaha nasional Edwin Soerjadjaya seraya mengatakan, seiring perjalanan waktu, pemodal ritel lokal akan semakin rasional.

Lini Bisnis Saratoga

Sebagai perusahaan investasi yang mirip Berkshire Hathaway milik superinvestor Warren Edward Buffett, demikian Michael, kegiatan Saratoga lebih di anak perusahaan. Saratoga memilih perusahaan di sektor yang bertumbuh, yakni energi, infrastruktur telekomunikasi, logistik, kesehatan, dan digital. Energi yang dikembangkan tidak saja batu bara, melainkan juga energi terbarukan. “Sektor usaha yang kami masuki masih oke,” ujar. Michael.

Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, permintaan terhadap  energi, telekomunikasi, kesehatan, dan layanan logistik akan semakin besar. Dia yakin, ekonomi Indonesia akan membaik karena pemerintah cukup tepat dan serius membangun fondasi  pembangunan ekonomi.

Ke depan, kata Michael, Saratoga membidik perusahaan yang memiliki prospek cerah di bidang energi terbarukan. Tidak perlu mayoritas. Memiliki saham 7-8% di perusahaan energi terbarukan sudah bagus. Saat ini, kepemilikan Saratoga kebanyakan di bawah 7%. Tapi, Saratoga masuk

bersama rekan bisnis. “Di Adaro, misalnya Pak Boy, Keluarga Pak TP Rahmat kita 60%, di Tower Bersama dengan partner kita juga sekitar 60%. Jadi, bukan kita harus mayoritas, tapi selama partner kita merupakan orang-orang filosofinya mirip dan investasi mereka longterm, kita oke,” papar Michael.

“Kalau melihat Berkshire Hathaway, kita juga mirip. Saham di Apple nggak sampai 5%, di Coca-Cola dan American Express, juga demikian. Selama prospek bisnisnya bagus, manajemen dan partner-nya bagus, kita bisa bekerja sama, kita masuk,” ungkap Michael.

Saratoga sudah sejak lama memaski bisnis renewable energy. Terakhir, Saratoga membangun proyek geothermal PLTP Sarulla. “Kalau nggak salah itu geothermal baru. Saat itu, belum ada yang besar. Kita mulai sejak tahun 2012, join dengan Medco, fifthy-fifthy. Sekarang PLTP itu sudah produksi sekitar 300 MW,” paparnya.

“Sayangnya, mencari proyek renewable energy yang besar dan skala komersialnya masuk, itu susah,” kata Michael.

Pada tahun 2016 sampai sekarang, proyek-proyek baru di bidang renewable energy yang  dimasuki Saratoga belum banyak. Pihaknya akan terus mencari peluang. Semua negara berlomba mengembangkan energi terbarukan, apalagi harga solar panel semakin rendah. “Hanya saja, dua tahun ini, kita kan banyak hujan dan mendung. Beda dengan di California, Arab Saudi, dan  Tiongkok. Di sana, kadang-kadang harga solar energy sama dengan batu bara, kadang-kadang malah lebih murah,” jelasnya.

Saratoga lewat Adaro akan membangun energi terbarukan di Kalimantan Utara. Ada PLTA dalam skala besar. Selain itu, Adaro juga membangun pabrik smelter nikel dan pabrik baterai. Michael mengakui, dalam dua tahun terakhir, pihaknya tidak terlalu agresif membangun bisnis digital. “Kita berusaha masuk di perusahaan digital yang real. Itu mungkin by design karena kita pingin. Tapi, valuasinya sangat tinggi,” jelasnya.

Didirikan tahun 1997 Saratoga Group kini berusia 25 tahun. Investasi pertama adalah di saham Adaro Group tahun 2002. Pada tahu 2004, Saratoga dan Provident Capital berinvestasi di perusahaan menara independen, yakni Tower Bersama Infrastructure (TBIG). Pada tahun 2008, PT Adaro Energy (ADRO) menjadi perusahaan terbuka lewat IPI senilai Rp 12,2 triliun. Pada 2010, Saratoga berinvestasi di Mitra Pinasthika Mustika (MPMX) dan di tahun yang sama, Tower Bersama Infrastructure (TBIG) IPO dan tercatat di BEI.

Di tahun 2012, Saratoga membeli saham PT Merdeka Gold Copper (MDKA), perusahaan emas dan tembaga yang sedang berkembang. Perusahaan ini IPO dan listed di BEI, 2015. Pada tahun 2013, Saratoga Investama (SRTG) dan Mitra Pinasthika Mustika (MPMX) IPO dan tercatat di BEI. Pada 2016, Saratoga berinvestasi di Primaya Hospital dan MGM Bosco Logistics (logistik rantai dingin). Di tahun 2017, Saratoga berinvestasi di Deltomed Laboratories (produsen obat herbal). Pada tahun yang sama, Saratoga divestasi di Lintas Marga Sedaya (perusahaan jalan tol) dan Medco Power Indonesia (perusahaan pembangkit listrik).

Pada tahun 2018, Saratoga berinvestasi di Aneka Gas Industri (AGII) dan divestasi kepemilikan sahamnya di Paiton Energy (perusahaan pembangkit listrik). Pada 2019, Saratoga berinvestasi di Julo, startup fintech yang memanfaatkan big data dan machine learning dalam proses penjaminan ke konsumen. Saratoga kemdian meningkatkan kepemilikannya di MGM Bosco Logistics pada tahun 2020. Sedang pada 2021, Saratoga berinvestasi di Sirclo (e-commerce enabler) dan Fuse (insuretech) untuk mengembangkan portofolio di sektor teknologi digital.

Editor: Indah Handayani (indah.handayani26@gmail.com)

Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS

BAGIKAN

Berita Terkait


Berita Terkini


Market 32 menit yang lalu

Sillo Maritime (SHIP) Beli Kapal Tanker Rp 830 Miliar

Sillo Maritime Perdana (SHIP) menggelontorkan dana US$ 54,8 juta atau setara Rp 830,4 miliar untuk membeli satu unit kapal tanker LPG.
Market 6 jam yang lalu

Jasa Marga (JSMR) Siap-siap Panen, Sahamnya Bisa Cuan 50% Lebih

Jasa Marga (JSMR) akan menyesuaikan tarif di 10 ruas tolnya tahun ini. Sementara itu, saham JSMR diproyeksi kasih cuan 50% lebih!
National 7 jam yang lalu

JRP Insurance Sabet Penghargaan Perusahaan Pembayar Zakat Badan Teladan

JRP Insurance berkontribusi dengan mendukung perekonomian yang berkeadilan dalam agama Islam melalui pemberian zakat.
Business 7 jam yang lalu

ALFI Perkuat Posisi sebagai Pelaku Transportasi Multimoda Tingkat Dunia

ALFI perkuat posisi sebagai pelaku jasa logistik dan operator angkutan multimoda di Indonesia yang diakui dunia global.
International 7 jam yang lalu

Ini Dia Simpulan Sidang CEO TikTok di Kongres AS

Dugaan hubungan dengan Tiongkok, keselamatan pemuda, dan “kedudukan politik” tema yang dilontarkan CEO TikTok Chew Shou Zi di Kongres AS.
Copyright © 2023 Investor.id