Sabtu, 25 Maret 2023

Nasib UMKM di Tengah Pandemi Covid-19

Sarman Simanjorang *)
6 Jun 2020 | 14:00 WIB
BAGIKAN
Sarman Simanjorang, Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Provinsi DKI Jakarta, Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI)
Sarman Simanjorang, Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Provinsi DKI Jakarta, Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI)

Hidup segan mati tak mau, setidaknya itulah yang bisa diibaratkan kepada kondisi pelaku UMKM di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Penularan virus corona yang demikian cepat dan masif telah memaksa pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tetapi juga berdampak mematikan berbagai aktivitas bisnis pelaku UMKM.

Jakarta sebagai kota jasa, mobilitas manusia/warga merupakan penggerak utama berbagai aktivitas usaha dan bisnis. Tatkala mobilitas masyarakat dibatasi, semakin sempit ruang gerak warga sebagai konsumen, maka aktivitas usaha dan bisnis pun kian terbatas atau stagnan.

Pemerintah menyadari bahwa kebijakan PSBB memiliki dampak yang begitu besar terhadap perekonomian. Namun, pemerintah harus memutuskan pilihan, antara kepentingan ekonomi atau keselamatan warga negara. Sudah pasti dengan penuh perhitungan dan konsekuensi risikonya, keselamatan warga negara adalah di atas segala-galanya.

Kebijakan PSBB tidak hanya membatasi aktivitas usaha para pelaku UMKM, tetapi juga hampir semua bidang usaha, baik skala besar, bahkan pekerja nonformal terdampak dengan kebijakan ini. Sektor usaha skala menengah dan besar di bidang pariwisata beserta turunannya seperti hotel, restoran, kafe, travel, pusat hiburan dan transportasi sejak sekitar dua bulan lalu sudah mengalami tekanan usaha yang sangat berat.

Sebelum PSBB tahap pertama dilaksanakan mulai 10 April 2020, Pemprov DKI sudah lebih dulu mengimbau perusahaan untuk menerapkan work from home hingga belajar di rumah para pengajar dan pelajar. Data dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) tertanggal 13 April 2020 mencatat sudah hampir 1.642 hotel dan 6.800 restoran yang tutup di seluruh Indonesia dan berpotensi akan bertambah jika wabah Covid-19 berkepanjangan. Angka itu belum termasuk sektor usaha hiburan yang jumlahnya ribuan unit. Usaha skala hotel yang sudah memiliki infrastruktur yang kuat saja, bisa dibayangkan bagaimana dengan nasib pelaku UMKM. Kondisi UMKM saat ini sangat rentan, dan dipastikan sudah jutaan UMKM yang sekarat bahkan sudah menutup usahanya.

Berkaca pada krisis moneter 1998 dan krisis keuangan global 2008, tatkala perusahaan-perusahaan skala besar banyak yang tumbang, sebaliknya sektor UMKM tampil sebagai penyelamat dan penopang perekonomian nasional. Ketangguhan UMKM menjadi modal utama, membawa perekonomian nasional selamat dari krisis dan perlahan tapi pasti perekonomian kita dapat pulih kembali. UMKM saat itu mampu menggerakkan ekonomi akar rumput dan menjaga daya beli masyarakat. Namun, kini kondisinya jauh beberda kala pandemi Covid-19 melanda negara kita. UMKM tak lagi tangguh, lumpuh, tidak dapat lagi diandalkan sebagai penopang perekonomian bangsa. Pangsa pasar yang dimilikinya, berupa kebutuhan masyarakat sehari-hari, baik sandang maupun pangan, menyempit.

Dalam ruang gerak yang sudah teramat sempit, aneka produk yang disiapkannya tidak menjadi transaksi yang mampu menggerakkan ekonomi dan perputaran uang.

Sekalipun masih ada yang dapat bertahan, seperti para pedagang pasar yang menjual aneka pokok pangan dan yang beralih menjual Alat Pelindung Diri (APD), namun hanya sebagian kecil dari puluhan juta para UMKM.

Profil UMKM di Indonesia terdiri atas tiga kluster besar, yaitu kluster produsen, usaha dagang, dan jasa. Produsen umumnya memproduksi aneka makanan dan minuman seperti tahu, tempe, kue basah, bakso, mie, sirop, dll. Termasuk aneka sandang seperti pakaian/batik, tas, sepatu, kerajinan/souvenir, mebel, percetakan dan industri kreatif.

Usaha dagang mencakup pedagang kaki lima, restoran, kafe, catering, aneka warung, kuliner, toko pakaian/fashion, toko sembako, dll. Sedangkan usaha jasa (service business) seperti transportasi online, travel wisata dan umroh, kontraktor, pengadaan barang/ jasa, bengkel, logistik, salon, klinik, barbershop, event organizer, desain dan percetakan, dll.

Pangsa pasar dari kesemua bidang usaha UMKM tersebut akan sangat ditentukan oleh pergerakan manusia sebagai konsumen atau pelanggan. Semakin lama kebijakan bekerja dari rumah (work from home) dan PSBB, maka nasib usaha UMKM semakin tidak pasti, bahkan yang masih bertahan perlahan akan menyusul menutup usahanya.

Dengan kondisi ini, UMKM praktis tidak memiliki kontribusi dalam menjaga pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Berbanding terbalik dengan kondisi di kala normal, di mana UMKM menyumbang 60% produk domestik bruto (PDB) secara nasional dan pertumbuhan ekonomi yang ditopang dari konsumsi rumah tangga dominan digerakkan sektor ini. Termasuk sumbangsihnya terhadap penyerapan tenaga kerja yang mencapai 96% dari 133 juta angkatan kerja secara nasional serta menyumbang 14% dari total ekspor.

Walaupun selama ini pelaku UMKM masih kurang perhatian pemerintah dari sisi pembinaan, pemberdayaan dan pengembangan, namun realitasnya peran UMKM dalam menopang perekonomian nasional tidaklah bisa dipandang sebela mata.

Sampai saat ini belum ada yang memastikan kapan pandemic Covid-19 ini akan berakhir. Namun, jika penerapan PSBB ini masih berkepanjangan, aktivitas usaha UMKM akan mati suri, dampaknya angka kemiskinan dan pengangguran akan semakin tinggi, yang tentu akan menjadi beban sosial yang harus dipecahkan oleh pemerintah.

Dampak Covid-19 ini memang teramat sulit bagi UMKM, bahkan bisa digolongkan sebagai kejadian luar biasa yang sulit diprediksi sebelumnya. Sangatlah ironis kondisi yang dialami UMKM saat ini, yang harus menanggung ketirnya usaha akibat Covid-19.

Pelaku UMKM mengapresiasi stimulus ekonomi yang diberikan pemerintah, yang salah satunya menyasar UMKM. Adanya keringanan pembanyaran cicilan pokok dan bunga pinjaman, penundaan cicilan kendaraan baik berupa motor, mobil, perahu bagi nelayan, bahkan rumah, tentu dapat meringankan beban pelaku UMKM. Harapannya, stimulus atau relaksasi pemerintah ini benar-benar direalisasikan di lapangan. Namun, perlu kiranya pemerintah juga perlu mengkaji stimulus tambahan yang lebih luas.

Dari pemerintah daerah, misalnya keringanan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang dipergunanakan untuk usaha transportasi umum, keringanan pajak hotel dan restoran, serta pajak hiburan, termasuk sewa kios para pedagang pasar. Usulan ini sangat perlu dipertimbangkan oleh pemerintah daerah sebagai salah satu upaya agar UMKM yang masih beroperasi mampu bertahan.

Atau mungkin stimulus lainnya yang kesemuanya agar UMKM mampu bertahan dan tidak putus asa sambil menunggu badai Covid-19 cepat berlalu. Dalam masa sulit seperti ini UMKM jangan dibiarkan jalan sendiri. Saatnya pemerintah memikirkan dari berbagai aspek nasib 64 juta pelaku UMKM yang selama ini menjadi roda penggerak konsumsi rumah tangga dan kekuatan perekonomian nasional. Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pedagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwasata,  Perhubungan, Kementerian Keuangan, Kementerian Desa, serta instansi terkait lainnya sudah saatnya melakukan inventarisasi masalah yang dihadapi UMKM sesuai bidang usaha masing-masing untuk selanjutnya diberikan jalan keluarnya.

Pelaku UMKM yang sudah terpaksa tutup harus dicarikan solusi bagaimana agar mereka aktif dan bangkit kembali sebagai motor penggerak perekonomian nasional. Pembahasan RUU Cipta Kerja, khususnya kluster UKMK yang saat ini sedang dibahas di tingkat Baleg DPR RI harus dikawal dan diberikan masukan yang komprehensif dan mendasar akan kelemahan UMKM selama ini. RUU Cipka Kerja menjadi tumpuan harapan pelaku UMKM untuk menatap masa depan yang lebih cemerlang pascaCovid-19.

Kelemahan UMKM selama ini dari aspek kemudahan perizinan, permodalan, kemitraan, pemasaran, kewajiban memakai produk UMKM, sertifikasi halal, kuota lahan khusus, skala upah minimum khusus UMKM.

Selain itu, administrasi perpajakan, kemudahan HAKI, tenaga pendamping, proyek yang bersumber dari APBN/APBD untuk UMKM, serta penguatan SDM melalui pelatihan yang rutin kepada para pelaku UMKM. Hendaknya penanganan kelemahan-kelemahan itu dapat diakomodir dalam RUU Cipta Kerja.

Penguatan UMKM dalam RUU Cipta Kerja menjadi modal besar setelah Covid-19 berakhir. Pelaku UMKM dapat berlari kencang mewarnai aktivitas bisnis di Tanah Air dan menjadi penopang dan kekuatan perekonomian bangsa.

PSBB Masa Transisi

Kebijakan terbaru, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan untuk kembali memperpanjang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Ibu Kota hingga akhir Juni 2020, dan menetapkan bulan Juni ini sebagai masa transisi menuju new normal Jakarta.

Pelaku usaha tentu merespons positif kebijakan ini. Dalam masa transisi ini sudah diberikan kelonggaran, di mana berbagai sektor usaha sudah bisa beroperasi dengan mengacu pada protokol kesehatan. Perkantoran, industri, rumah makan dan pertokoan yang bukan merupakan bagian dari mall/pusat perdagangan, serta usaha UKM lainnya sudah dapat buka kembali dengan sistem ganjilgenap. Di mana toko yang nomor ganjil buka pada saat tanggal ganjil, dan sebaliknya. Sedangkan mall dan pusat perdagangan nonpangan yang selama ini tutup, akan dapat buka kembali tanggal 15 Juni 2020.

Ini adalah angin segar bagi pelaku usaha dan pekerja, di mana roda ekonomi mulai bisa berputar secara perlahan dan pekerja yang dirumahkan mulai aktif kembali. Para pengelola mall dan pusat perdagangan sekalipun mulai aktif tanggal 15 Juni, sedari sekarang sudah dapat memanfaatkan waktu ini untuk mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung protokol kesehatan dan konsolidasi internal mempersiapkan jam kerja karyawan serta standar protokol pelayanan kepada pengunjung. Pembukaan berbagai pusat perdagangan akan membuat perekonomin di Jakarta kembali menggeliat sebagai kota jasa.

Dunia usaha prinsipnya akan siap melaksanakan kebijakan pemerintah yang telah memberikan kelonggaran dalam masa perpanjangan PSBB, tetapi tetap bersama-sama berikhtiar mematikan penularan Covid-19 sampai ke angka titik nol, sehingga kita dapat menuju ke kehidupan normal baru yang sesungguhnya. Komitmen pengusaha sangat jelas dalam hal ini, apapun kebijakan pemerintah akan siap dilaksanakan untuk kepastian berputarnya roda perekonomian.

Sebagai catatan akhir, pemerintah Provinsi DKI Jakarta meski memperketat pengawasan kedisiplinan penerapan protokol kesehatan pada masa PSBB transisi ini, untuk memastikan kurva penyebaran Covid-19 semakin menurun dan bisa memasuki fase kehidupan normal yang baru.

*) Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Provinsi DKI Jakarta, Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI)

Editor: Gora Kunjana (gora_kunjana@investor.co.id)

Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS

BAGIKAN

Berita Terkait


Berita Terkini


National 16 menit yang lalu

AHY: Keputusan Cawapres ada di Tangan Anies

AHY mengaku telah mempercayakan keputusan akhir penentuan cawapres kepada Anies.
National 23 menit yang lalu

Buka Bersama Nasdem dan Tokoh, JK Sebut Tak Ada Pembicaraan Politik

AHY mengatakan acara bukber DPP Nasdem merupakan silaturahmi dan temu kangen antara tokoh politik yang hadir.
National 29 menit yang lalu

2 Aparat Tewas Diserang KKB Saat Amankan Salat Tarawih di Puncak Jaya

Paskapenyerangan situasi di Kabupaten Puncak Jaya dilaporkan siaga satu, seluruh aparat waspada dan mengantisipasi serangan susulan.
Business 33 menit yang lalu

Daop 1 Jakarta Siapkan Kereta Api Tambahan untuk Mudik

Terdapat 303 perjalanan KA Tambahan yang berangkat dari area KAI Daop 1 Jakarta.
Business 55 menit yang lalu

KKP: Penangkapan Ikan Terukur Untungkan Nelayan Kecil

Para nelayan kecil yang tergabung dalam koperasi tetap mendapat kuota tangkapan, bahkan tidak dikenai Penarikan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Copyright © 2023 Investor.id